Maluku Barat Daya – Seorang anggota Kepolisian Republik Indonesia yang bertugas di kabupaten Maluku Barat daya, Polsek Kisar sekaligus menjabat sebagai Kepala Pos Polisi (Kapospol) Pulau Roma, Bripka Petriks Telussa, diduga melakukan tindakan kekerasan fisik dan intimidasi terhadap seorang warga Desa Persiapan Oirleli, Pulau Roma, Kabupaten Maluku Barat Daya.
Korban diketahui bernama Leonard Mahoklory (LM), seorang warga setempat yang juga pernah menjabat sebagai tua agama di jemaat Oirleli. Peristiwa tersebut dilaporkan terjadi pada Senin, 29 November 2025, sekitar pukul 17.00 WIT, tepat di depan pastori Jemaat Oirleli.
Berdasarkan informasi yang dihimpun media ini, LM mengalami luka-luka di bagian wajah, bengkak, dan mengeluarkan darah akibat dugaan penganiayaan tersebut. Kejadian ini tidak hanya memunculkan dugaan kekerasan fisik terhadap warga sipil, tetapi juga menimbulkan pertanyaan serius mengenai profesionalisme dan fungsi aparat penegak hukum, khususnya di wilayah terpencil.
Menurut keterangan warga, peristiwa bermula dari kegiatan bakti sosial pembersihan lingkungan desa dalam rangka menyambut Tahun Baru. Kegiatan tersebut merupakan imbauan langsung dari pendeta jemaat Oirleli, yang meminta masyarakat mengikat dan mengandangkan hewan ternak masing-masing demi kelancaran kegiatan.
Namun, dalam pelaksanaannya, terdapat sejumlah warga yang tidak mengindahkan imbauan tersebut. Akibatnya, beberapa hewan ternak yang dilepas berkeliaran ditombak oleh unsur majelis dan linmas desa. LM disebut-sebut turut diperintahkan dalam pengamanan kegiatan tersebut.
Situasi kemudian memanas setelah pemilik hewan yang ditombak diduga menyampaikan hasutan kepada Bripka Petriks Telussa. Tak lama berselang, diduga terjadi tindakan kekerasan fisik oleh oknum polisi tersebut terhadap LM.
Sejumlah warga menilai tindakan Bripka Petriks Telussa tidak mencerminkan sikap netral aparat negara. Ia juga disebut kerap memihak kelompok tertentu di desa dan bersikap sewenang-wenang terhadap warga lain. Warga mengungkapkan bahwa dugaan tindakan serupa telah beberapa kali terjadi, namun selama ini tidak dilaporkan karena adanya rasa takut dan tekanan.
“Peristiwa ini menjadi puncak kemarahan masyarakat. Kami sudah terlalu lama diam,” ungkap salah satu warga yang meminta identitasnya dirahasiakan.
Jika terbukti, tindakan kekerasan, intimidasi, dan penganiayaan tersebut dinilai bertentangan dengan sejumlah peraturan perundang-undangan, di antaranya:
* Perkapolri Nomor 8 Tahun 2009, khususnya Pasal 48, yang melarang penyiksaan dan segala bentuk kekerasan dalam pelaksanaan tugas kepolisian;
* Perkapolri Nomor 7 Tahun 2022 tentang Kode Etik Profesi dan Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia (KEPP);
* Pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang penganiayaan.
Atas peristiwa tersebut, masyarakat Desa Persiapan Oirleli mendesak agar:
1. Pemberian teguran keras serta pemeriksaan internal oleh Polsek Kisar dan Polres Maluku Barat Daya terhadap oknum polisi yang bersangkutan;
2. Pembinaan dan sanksi administratif terhadap warga yang diduga menghasut dan memicu konflik di tengah masyarakat;
3. Klarifikasi terbuka dari pimpinan kepolisian setempat terkait langkah penanganan kasus ini serta komitmen menjaga profesionalisme dan netralitas aparat.
Hingga berita ini diterbitkan, pihak kepolisian setempat belum memberikan keterangan resmi terkait dugaan tersebut. Masyarakat berharap kasus ini ditangani secara transparan dan adil, guna memulihkan kepercayaan publik terhadap institusi kepolisian, khususnya di wilayah kepulauan terluar. (MK)
![]() |
| Klik ☝ untuk mengikuti akun Google News Kami agar anda tidak ketinggalan berita menarik lainnya |

