Ambon – Komitmen memperjuangkan ruang hidup masyarakat adat kembali digaungkan dalam forum Ngobrol Pintar (Ngopi) yang digelar Himpunan Mahasiswa Program Studi Agama dan Budaya IAKN Ambon. Setelah sesi pertama berlangsung di Plaza FISK sekitar pukul 10.40 WIT, diskusi kemudian dilanjutkan di Definisi Coffee, Komplek Lamtamang Hiu, Halong, Baguala, Kota Ambon, dengan menghadirkan para aktivis dan pemerhati isu agraria di Maluku.
Mengangkat tema “‘Pembangunan’ yang Merampas: Membedah Konflik Agraria dan Peran Kritis Gerakan Sosial di Maluku”, forum ini menghadirkan tiga narasumber utama:
-
Dr. Phil Geger Riyanto, Dosen Antropologi Universitas Indonesia
-
Chalid Bin Walid Pelu, Direktur KORA Maluku
Diskusi yang dimulai sekitar pukul 16.20 WIT tersebut menjadi ruang penting untuk membedah persoalan agraria yang terus menghimpit masyarakat adat di berbagai wilayah Maluku, mulai dari konflik lahan, ekspansi industri, hingga perebutan ruang kelola adat yang belum mendapatkan penyelesaian memadai.
Dalam pemaparannya, Vikry Reinaldo Paais menegaskan bahwa pembangunan yang digencarkan pemerintah dan investor tidak jarang meninggalkan luka bagi komunitas adat.
“Hari ini kita menyaksikan bagaimana proyek-proyek investasi sering masuk tanpa konsultasi yang layak dengan masyarakat adat. Mereka kehilangan hutan, kebun, dan ruang hidup yang diwariskan leluhur,” ujarnya.
Ia mencontohkan situasi di Pulau Seram, Buru, dan sejumlah wilayah lain yang kerap menjadi target perluasan konsesi industri.
“Di Seram, konflik agraria bukan lagi isu baru. Perusahaan masuk, hutan dibabat, sementara masyarakat adat diposisikan seolah tidak memiliki hak atas tanahnya. Hal yang sama terjadi di Buru dan daerah lainnya. Pergolakan ini terus berulang tanpa penyelesaian jelas,” tegasnya.
Menurutnya, gerakan sosial memiliki peran strategis untuk memastikan suara masyarakat adat tidak tenggelam oleh arus investasi.
“Gerakan sosial tidak hanya soal kritik. Ia harus menjadi kekuatan solidaritas lintas komunitas agar pembangunan tidak meminggirkan mereka yang telah menjaga tanah ini dari generasi ke generasi,” tambahnya.
Pandangan tersebut turut diperkaya oleh dua narasumber lainnya yang menekankan pentingnya pengakuan hak adat, reformasi kebijakan agraria, serta penguatan jaringan advokasi di tingkat lokal hingga nasional.
Forum Ngobrol Pintar ini diwarnai dialog yang hidup, dengan para peserta turut menyampaikan pandangan, kritik, serta pertanyaan yang memperkaya proses dialektika. Melalui kegiatan ini, mahasiswa dan aktivis kembali menegaskan komitmen untuk terus mengawal kepentingan masyarakat adat agar pembangunan di Maluku tidak meninggalkan pihak yang paling rentan. (EH)
![]() |
| Klik ☝ untuk mengikuti akun Google News Kami agar anda tidak ketinggalan berita menarik lainnya |

