Close
Close
Orasi Rakyat News
Orasi Rakyat News

Jeritan Bisu dari Ujung Timur Pegunungan Gaikiu: Potret Buram Pendidikan di SMPN 48 Sa Ate

Oleh: [Markus M. Mite/Pemerhati Pendidikan]


Di peta pendidikan Indonesia, mungkin titik itu nyaris tak terlihat. Namun, jika Anda berani menembus kabut tebal, perjalanan menuju ke sana adalah sebuah ujian nyali tersendiri. Anda harus melintasi akses melalui Desa Bu Utara dengan kondisi jalan berbatuan yang tajam dan terjal. Tidak ada aspal mulus, yang ada hanyalah hamparan batu cadas yang siap menyandung langkah kaki atau menggelincirkan roda kendaraan.


Setelah menaklukkan jalanan berbatu yang membelah bukit dan menyusuri tebing curam, barulah Anda tiba di wilayah Desa Bu Utara, Kecamatan Tanawawo, Kabupaten Sikka. Di sanalah Anda akan menemukan sebuah "monumen" perjuangan.


Di sana, di bawah bayang-bayang tebing yang menjulang, berdiri SMP Negeri 48 Sa Ate Gaikiu.


Nama sekolah ini menyandang predikat "Negeri", sebuah status yang semestinya membawa rasa aman dan jaminan fasilitas dari negara. Namun, realitas di lapangan menampar kita dengan kenyataan yang getir. Sekolah yang baru seumur jagung—berdiri secara operasional sejak 2024 ini jauh dari bayangan gedung sekolah pada umumnya. Tidak ada tembok beton yang kokoh, tidak ada lantai keramik yang dingin. Yang ada hanyalah gubuk bambu yang berdiri gemetar di atas tanah liat, menampung mimpi-mimpi anak pelosok yang menolak padam.


### Sang Nahkoda dan Papan Tulis dari Rumah

Di balik berdirinya sekolah ini, ada sosok Fransiskus Randis, S.Pd., sang Wakil Kepala Sekolah. Beliau bukan sekadar pengajar; beliau adalah nyawa bagi SMPN 48 Sa Ate. Jauh sebelum tiang bambu pertama ditancapkan, Pak Fransiskus-lah salah satu yang berjalan kaki, mengetuk pintu hati tokoh masyarakat dan pemerintah desa, menginisiasi agar anak-anak Gaikiu tidak perlu putus sekolah hanya karena jarak.


Namun, kisah Pak Fransiskus hari ini adalah kisah tentang pengorbanan yang membuat hati siapa pun teriris.


Bayangkan sebuah sekolah negeri di abad ke-21. Di saat sekolah-sekolah di kota besar berbicara tentang proyektor digital dan internet cepat, Pak Fransiskus harus memulai harinya dengan memikul sebuah beban fisik dan moral: ia membawa papan tulis kecil dari rumah pribadinya.


"Sekolah kami tidak punya papan tulis. Kalau saya tidak bawa dari rumah, di mana anak-anak ini akan menuliskan angka dan huruf?" ucapnya dengan senyum getir.


### Ironi Digital: Papan Interaktif yang "Takut" Hujan

Di tengah keterbatasan fasilitas dasar tersebut, sekolah ini sempat menerima bantuan berupa Papan Interaktif (Interactive Board). Sebuah alat canggih yang seharusnya menjadi jendela dunia bagi para siswa. Namun, keberadaan alat ini justru menciptakan ironi yang menyedihkan di Gaikiu.


Bagaimana mungkin papan digital ini bisa berfungsi maksimal jika akses internet dan WiFi sangat terbatas, bahkan nyaris tidak ada? Fitur-fitur canggihnya menjadi tumpul tanpa koneksi.


Lebih memilukan lagi, alat mahal ini justru menjadi beban pikiran baru saat cuaca memburuk. Karena kondisi atap sekolah yang bocor dan dinding bambu yang tidak rapat, papan interaktif ini harus segera dipindahkan dan diselamatkan setiap kali hujan turun.


Bayangkan suasananya: saat gerimis mulai turun, alih-alih fokus mengajar, guru dan siswa harus panik bergotong-royong mengangkut alat elektronik tersebut ke sudut yang kering agar tidak rusak tertimpa air hujan. Teknologi abad 21 dipaksa "mengungsi" di dalam gubuk yang rapuh.


### Kursi Pinjaman dan Kelas Tanpa Jendela

Kekurangan di SMPN 048 Sa Ate bukan hanya soal papan tulis dan papan interaktif yang tak bisa menetap. Masuklah ke dalam dua ruangan kelas yang tersedia. Anda akan melihat puluhan siswa duduk di atas kursi. Tapi jangan salah, kursi-kursi itu bukan milik sekolah. Itu adalah kursi pinjaman dari Kantor Desa. Ada kekhawatiran yang selalu menggantung: jika desa sedang memiliki hajat dan kursi itu ditarik kembali, apakah anak-anak ini harus belajar sambil berdiri atau lesehan di atas tanah yang dingin?


Dinding sekolah terbuat dari anyaman bambu (gedek) yang mulai rapuh. Jendela-jendelanya hanyalah lubang-lubang menganga tanpa kaca penutup. Saat musim kemarau, debu beterbangan masuk menyesakkan dada.


Fasilitas sanitasi pun tak kalah memilukan. Untuk 52  siswa, 11 orang guru, dan 3 pegawai (total 64 manusia), hanya ada satu unit WC. Itu pun berupa bilik bambu sederhana. Bisa dibayangkan antrean dan ketidaknyamanan yang harus mereka rasakan setiap hari.


###Langit Menangis, Kami Lari..."

Hendrikus Ndopo, salah satu siswa di sana, menuturkan pengalaman yang tak seharusnya dirasakan anak seusianya. Bagi Hendrikus dan teman-temannya, awan mendung bukan pertanda hujan yang romantis, melainkan sinyal bahaya.


"Kami takut sekali kalau hujan turun. Atap seng sekolah kami bocor di mana-mana. Lantai tanah jadi lumpur. Tapi yang paling kami takutkan adalah angin," suara Hendrik  bergetar. "Pernah dulu, atap sekolah kami nyaris terbang terangkat angin kencang. Kami semua menjerit dan lari mencari perlindungan."


Di sekolah ini, lonceng pulang terkadang berbunyi bukan karena jam pelajaran usai, melainkan karena alam tidak bersahabat. Guru terpaksa memulangkan siswa demi keselamatan nyawa mereka.


### 14 Pelita di Tengah Kegelapan

Meski kondisi fisik sekolah begitu memprihatinkan, ada satu hal yang berdiri kokoh melebihi beton bertulang: Dedikasi.


Sebanyak 11 guru dan 3 pegawai di SMPN 048 Sa Ate adalah pahlawan tanpa tanda jasa yang sesungguhnya. Setiap pagi, mereka harus bertaruh nyawa menaklukkan medan dari Desa Bu Utara menuju sekolah. Mereka melewati jalan berbatuan yang menyakitkan kaki, berlumpur saat hujan, dan berbelok tajam.


Ruang guru mereka hanyalah sepetak ruangan sempit yang bergabung dengan ruang kepala sekolah, gudang, dan ruang administrasi. Namun, dari ruangan sesak itulah, strategi mencerdaskan anak bangsa disusun setiap hari.


### Harapan dari Tebing Gaikiu untuk Istana Negara

Pihak sekolah, melalui Pak Fransiskus dan Komite, sudah berulang kali berteriak. Namun jawaban di daerah seringkali terbentur keterbatasan. Maka, tulisan ini bukan sekadar berita, ini adalah surat cinta sekaligus gugatan dari ujung timur yang kami terbangkan langsung ke pusat kekuasaan.


Kepada Bapak Bupati Sikka, Bapak Kepala Dinas Pendidikan, dan terkhusus kepada Bapak Presiden Republik Indonesia, Bapak Prabowo Subianto.


###Lihatlah ke atas bukit Gaikiu.

Di sana, ada Pak Fransiskus yang masih memikul papan tulis dari rumahnya.

Di sana, ada Hendrikus yang gemetar ketakutan saat angin bertiup kencang.

Di sana, ada bantuan Papan Interaktif yang canggih, namun terpaksa disembunyikan dan dipindah-pindah karena takut tersiram air hujan dari atap yang bocor.

Di sana, ada 52 tunas bangsa yang duduk di kursi pinjaman, berharap bisa merubah nasib keluarganya melalui pendidikan.


Bapak Presiden Prabowo, dalam pidato-pidato Bapak yang berapi-api, Bapak selalu menekankan tentang masa depan bangsa, tentang teknologi, hilirisasi, dan tentang program Makan Bergizi Gratis untuk memperbaiki gizi anak Indonesia.


Kami mendukung penuh cita-cita mulia Bapak. Namun, izinkan kami menyampaikan satu hal dari pelosok Sikka:

Bagaimana anak-anak kami bisa menyerap teknologi melalui papan interaktif, jika listrik dan internet tak memadai, dan alat itu harus "lari" menghindari hujan?

Bagaimana anak-anak kami bisa menikmati makanan bergizi dengan tenang, jika atap sekolah mereka bocor dan dindingnya bergetar dihantam angin?

Bagaimana kami bisa menyongsong Indonesia Emas 2045, jika di tahun 2024 ini, kondisi kenyamanan belajar masih mengalami kesulitan? 


Anak-anak di Gaikiu adalah patriot kecil. Mereka menembus jalanan berbatu tajam demi bisa belajar. Mereka adalah aset bangsa yang Bapak cintai.


Tolong, Pak Presiden. Lihatlah ke bawah, ke pelosok yang jauh dari gemerlap ibu kota. Kami tidak meminta gedung mewah bertingkat. Kami hanya memohon kehadiran Negara. Berikan kami atap yang kokoh, dinding yang layak, dan jalanan yang manusiawi.


Jangan biarkan semangat Hendrikus ndopo, Pak Fransiskus, dan puluhan siswa lainnya padam, tersapu hujan di sekolah negeri yang terlupakan ini. Pendidikan yang layak adalah hak segala bangsa, termasuk mereka yang tinggal di balik tebing Gaikiu. (MM)

Baca Juga
Klik ☝ untuk mengikuti akun Google News Kami
agar anda tidak ketinggalan berita menarik lainnya

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama