Tabalong – Sidang perkara perdata Nomor 20/Pdt.G/2025/PN Tanjung Tabalong yang mengagendakan mediasi antara penggugat Amrullah bin H. Asmuni (alm) dan tergugat Sadri Asan berlangsung panas. Dalam sidang yang digelar di Pengadilan Negeri Tanjung Tabalong, Rabu (24/09/2025), kedua belah pihak menyatakan menolak proses mediasi, sehingga perkara dilanjutkan ke tahap pembuktian.
Amrullah hadir didampingi kuasa hukumnya, Vica Alpina, S.H., M.H. dan Candra, S.H., sementara Sadri Asan didampingi oleh istrinya serta beberapa anggota keluarga yakni Topan, Alfison, Udin, dan Nur Irmayani.
Kronologi Sengketa
Permasalahan bermula pada tahun 1986 saat Urie, orang tua Sadri Asan, menjual sebidang tanah kepada Haji Midhan seluas sekitar 14 x 128 meter (kurang lebih 7,5 depa x 70 depa). Namun, pada tahun 2010, Sadri Asan kembali menjual sebagian tanah tersebut kepada Pasaribu seluas 13 x 40 meter tanpa sepengetahuan Haji Midhan.
Menurut keterangan Haji Midhan, pada tahun 2012, Sadri Asan kembali menjual tanah yang sama – termasuk tanah milik Haji Midhan dan tanah milik pribadinya – kepada Amrullah dengan luas 35 x 60 meter senilai Rp600 juta.
"Di tahun 2012, Asan menjual tanah kepada Amrullah senilai Rp600 juta. Tapi ternyata sebagian tanah tersebut adalah milik saya," kata Haji Midhan kepada media.
Versi Sadri Asan
Sadri Asan memiliki versi berbeda. Ia menyebut bahwa transaksi tersebut bukan sepenuhnya jual beli, melainkan sebagian merupakan pelunasan utang kepada Amrullah. Ia menjelaskan, sejak 2012, ia meminjam uang kepada Amrullah dengan cara dicicil – mulai dari Rp500 ribu hingga Rp5 juta – dan totalnya mencapai Rp200 juta.
"Asan menyebut, sisa pembayaran sebesar Rp400 juta dijanjikan akan dibayar setelah proses sertifikat selesai," ujar Asan.
Pada 2013, sertifikat selesai dan Amrullah mulai membayar secara bertahap – Rp45 juta dalam satu tahun. Lalu di tahun 2014, Amrullah kembali membayar Rp45 juta. Dengan demikian, total pembayaran saat itu mencapai Rp290 juta. Pada 2023, terjadi pembayaran tambahan sebesar Rp235 juta, menyisakan sekitar Rp75 juta yang menurut Asan digunakan untuk biaya pengurusan sertifikat, pembelian mobil, dan keperluan lainnya.
Setelah itu, Amrullah meminta tanda tangan sebagai bukti pengurangan harga, yaitu:
-
Biaya pembuatan sertifikat: Rp40 juta
-
Biaya urusan lainnya: Rp10 juta
-
Potongan berupa satu unit mobil Katana senilai Rp25 juta
Ketegangan Memuncak
Ketegangan memuncak pada Januari 2024 saat Amrullah ingin mengambil alih tanah dengan menggusur tiga warung dan merobohkan rumah milik keluarga Asan. Pihak keluarga menolak keras karena merasa tidak pernah menjual rumah maupun tanah tersebut.
Haji Midhan menjelaskan bahwa sejak pembelian di tahun 1986, ia rutin mengontrol dan berkoordinasi dengan Asan. Bahkan pada 2023, Haji Midhan melakukan pengukuran ulang bersama kelurahan, RT, kamtibmas, Babinsa, dan saksi dari keluarga Asan, sebelum akhirnya memasang papan kepemilikan di lokasi.
Tak berselang lama, Amrullah juga memasang plang kepemilikan di atas tanah yang sudah bersertifikat atas namanya. Situasi memanas karena pihak Haji Midhan merasa tidak pernah menjual tanah tersebut kepada siapa pun, apalagi hingga bersertifikat atas nama Amrullah.
Setelah beberapa kali upaya mediasi yang diinisiasi oleh Haji Midhan, Amrullah disebut selalu menolak untuk hadir. Akibatnya, kasus ini pun berlanjut ke meja hijau.
Pengakuan dan Penyesalan
Saat dikonfirmasi kembali oleh media, Sadri Asan mengakui semua kejadian tersebut. Ia menyatakan menyesal telah menjual tanah milik Haji Midhan kepada Pasaribu dan Amrullah tanpa hak.
"Saya mengakui semuanya dan saya siap menerima konsekuensi atas tindakan yang telah saya buat," ucapnya dengan nada merendah dan penuh penyesalan.
Sidang perkara ini masih akan berlanjut dalam agenda berikutnya di Pengadilan Negeri Tanjung Tabalong. (OR-KTV/A)
![]() |
Klik ☝ untuk mengikuti akun Google News Kami agar anda tidak ketinggalan berita menarik lainnya |