Close
Close
Orasi Rakyat News
Orasi Rakyat News

Haidar Alwi: Era Prabowo Harus Jadi Titik Balik, Hentikan Korupsi Sistemik Sekarang!

Jakarta - R. Haidar Alwi, pendiri Haidar Alwi Care dan Haidar Alwi Institute, menegaskan bahwa korupsi di Indonesia bukan sekadar perilaku oknum, melainkan hasil dari celah kebijakan yang dibiarkan terbuka dan institusi yang gagal menjalankan pengawasan. 


“Dari Bank Century hingga Jiwasraya dan Asabri, dari e-KTP hingga BTS Kominfo, dari Garuda Indonesia hingga Pertamina, serta dari tambang timah hingga perkebunan sawit, kita melihat pola yang sama. Individu yang serakah bertemu dengan institusi yang lemah, lalu kebijakan yang longgar menjadikannya subur. Maka pertanggungjawaban harus berlapis: menghukum pelaku, membenahi institusi, dan menutup celah kebijakan,” kata Haidar Alwi.


Pelajaran dari 12 Skandal Besar.

Jika menoleh ke belakang, sejarah dua dekade terakhir dipenuhi catatan pahit. Bank Century dan BLBI memperlihatkan rapuhnya sektor keuangan. Jiwasraya dan Asabri menunjukkan bagaimana dana rakyat bisa dipermainkan dalam investasi yang penuh manipulasi. Garuda dan TPPI menyingkap wajah rente dalam pengadaan serta energi. E-KTP dan BTS BAKTI mengingatkan bahwa digitalisasi pun bisa menjadi ladang korupsi. 


Duta Palma, ekspor CPO, dan tambang timah memperlihatkan rente izin dan kehancuran lingkungan. Terakhir, suap hakim memperlihatkan rusaknya benteng terakhir hukum ketika keadilan diperdagangkan.


Semua contoh ini bukan kumpulan kasus yang berdiri sendiri, melainkan rangkaian pola berulang. “Kasus-kasus tersebut memberi pesan jelas bahwa korupsi adalah penyakit sistemik. Jika negara hanya menghukum pelaku tanpa memperbaiki sistem, maka pola lama akan berulang dengan wajah baru. Kita harus jujur bahwa kelemahan sistemik inilah yang merugikan generasi bangsa,” tegas Haidar Alwi.


Era Prabowo dan Tigab Garda Penegak Hukum.

Dari pelajaran masa lalu itulah, publik kini menaruh harapan pada pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Harapan tersebut dijawab dengan sejumlah gebrakan. Kejaksaan Agung mengusut kasus tata kelola minyak mentah Pertamina dengan estimasi kerugian Rp193,7 triliun, serta kasus timah dengan nilai Rp300 triliun termasuk kerusakan lingkungan. KPK melakukan OTT terhadap Wakil Menteri Ketenagakerjaan, bukti bahwa rente birokrasi masih bercokol. 

Polri menangani perkara pengadaan dan lahan, serta menopang penyidikan melalui digital forensik dan asset tracing.


Langkah-langkah ini menunjukkan bahwa penegakan hukum tidak berhenti pada satu institusi. “Kejaksaan, KPK, dan Polri adalah tiga garda yang menentukan arah pemberantasan korupsi di era ini. Mereka harus bersinergi, bukan berjalan sendiri-sendiri. Penindakan memang penting, tetapi yang lebih utama adalah membangun tata kelola baru: transparansi kontrak, pengawasan subsidi energi, dan pemulihan lingkungan. Itulah ukuran sejati apakah era Prabowo benar-benar menjadi titik balik,” jelas Haidar Alwi.


Jalan Akuntabilitas Sejati.

Dari sinilah lahir pertanyaan mendasar: bagaimana memastikan gebrakan ini tidak hanya menjadi berita sesaat? Menurut Haidar Alwi, jawabannya terletak pada jalan akuntabilitas yang berlapis. Pertama, menghukum pelaku dengan pidana berat, uang pengganti, dan perampasan aset. Kedua, membenahi institusi melalui audit ketat, sanksi manajerial, dan pengawasan publik. Ketiga, menutup celah kebijakan dengan transparansi kontrak, registrasi pemilik manfaat, pendanaan politik yang jujur, serta pengawasan lingkungan yang kuat.


Inilah transisi dari sekadar penindakan menuju pembenahan yang lebih permanen. "Korupsi adalah cermin bahwa negara masih memberi ruang bagi kepentingan gelap untuk tumbuh. Jika bangsa ini ingin benar-benar berdaulat, kita tidak boleh hanya sibuk menebang ranting yang tampak di permukaan, sementara akarnya tetap dibiarkan mencengkeram tanah. Saya ingin mengingatkan, akuntabilitas sejati lahir bukan dari pidato seremonial, melainkan dari keberanian membangun sistem yang menutup semua peluang rente, menghapus praktik suap, dan menegakkan hukum secara konsisten tanpa pandang bulu. Itulah warisan yang seharusnya ditinggalkan oleh sebuah pemerintahan yang ingin dikenang rakyatnya,” pungkas Haidar Alwi.

(Nanang)

Baca Juga
Klik ☝ untuk mengikuti akun Google News Kami
agar anda tidak ketinggalan berita menarik lainnya

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama