Close
Close
Orasi Rakyat News
Orasi Rakyat News

Tetap Kuras Tambang Emas Papua, Sambil Masuk Fase Baru PSN Sawit, Singkong, dan Tebu di Papua Selatan

Oleh: Alfius Kambu
Judul ini mencerminkan realitas kebijakan pembangunan di era pemerintahan Presiden Prabowo Subianto–Gibran Rakabuming Raka, yang dinilai masih melanjutkan pola eksploitasi sumber daya alam di Papua, sembari membuka babak baru Program Strategis Nasional (PSN) berbasis perkebunan skala besar.


Warisan Panjang Eksploitasi Tambang

Jika menengok ke belakang, PT Freeport Indonesia mulai beroperasi pada tahun 1967 setelah menandatangani Kontrak Karya (KK) pertama dengan Pemerintah Indonesia. Kontrak tersebut berlaku selama 30 tahun dan memberikan hak kepada Freeport untuk mengeksploitasi tambang di wilayah Ertsberg, Papua, yang kemudian diperpanjang hingga tahun 2041.

Selama puluhan tahun, aktivitas pertambangan ini telah melahirkan beragam persoalan serius di Papua. Mulai dari kerusakan lingkungan, perubahan bentang alam secara masif, terpinggirkannya masyarakat adat sebagai pemilik hak ulayat, hingga konflik sosial dan bersenjata yang tak kunjung usai.


Papua dalam Fase Baru PSN

Memasuki tahun 2025, Papua kembali dihadapkan pada fase baru pembangunan melalui Program Strategis Nasional (PSN) sawit, singkong, dan tebu di Papua Selatan. Program yang didorong langsung oleh Presiden Prabowo ini, khususnya di wilayah Merauke, memicu kekhawatiran mendalam terkait dampaknya terhadap hutan, lingkungan hidup, dan keberlangsungan masyarakat adat.


PSN tersebut berpotensi membuka lahan secara besar-besaran untuk perkebunan tebu dan sawit. Konsekuensinya tidak sederhana: deforestasi masif, rusaknya ekosistem alami, meningkatnya emisi gas rumah kaca, serta terancamnya hak-hak masyarakat adat dan keberadaan hutan adat.


Lahan gambut di wilayah Papua Selatan juga berada dalam ancaman serius. Jika rusak, hal ini dapat memicu penurunan kualitas air, hilangnya keanekaragaman hayati, serta mengganggu tatanan hidup masyarakat adat yang selama ini bergantung pada alam.


Ancaman terhadap Masyarakat Adat

Masyarakat adat di Merauke, seperti suku Marind dan Malind, menyatakan kekhawatiran mereka terhadap potensi perampasan tanah dan hilangnya kontrol atas sumber-sumber kehidupan. Bagi mereka, tanah bukan sekadar aset ekonomi, melainkan ruang hidup, identitas, dan warisan leluhur.


Lebih jauh, PSN juga dinilai berpotensi memicu konflik agraria dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Mulai dari pengabaian hak atas tanah adat, pembatasan kebebasan berekspresi, hingga minimnya ruang partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan pembangunan.

Penolakan dan Tuntutan

Penolakan masyarakat adat di Papua Selatan terhadap PSN muncul secara spontan dan meluas. Mereka menuntut pemerintah untuk menghentikan proyek-proyek tersebut serta membuka ruang dialog yang jujur dan setara.


Selain itu, masyarakat adat juga mendesak perusahaan dan investor agar menghormati hak-hak mereka, serta tidak memaksakan proposal pembangunan yang mengabaikan persetujuan bebas, didahului, dan diinformasikan (FPIC).

Kritik dan Saran

Secara pribadi, saya menyerukan kepada pemerintah pusat untuk menghentikan sementara PSN di Papua Selatan dan membuka dialog terbuka dengan masyarakat adat guna mencari solusi pembangunan yang adil dan berkelanjutan.


Pemerintah juga perlu segera memperkuat regulasi yang mengakui dan melindungi hak-hak tanah adat, termasuk mengesahkan Undang-Undang Masyarakat Adat yang telah mandek selama lebih dari satu dekade. Setiap kebijakan pembangunan semestinya berlandaskan prinsip keadilan sosial, perlindungan lingkungan hidup, penghormatan terhadap hak asasi manusia, serta keberlanjutan hidup masyarakat adat Papua.

Baca Juga
Klik ☝ untuk mengikuti akun Google News Kami
agar anda tidak ketinggalan berita menarik lainnya

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama