![]() |
| **Oleh: [Markus M. Mite]** |
Kita hidup di era paradoks. Di satu sisi, kita mendewakan romantisme dan koneksi mendalam. Di sisi lain, kita dibesarkan dalam budaya yang menjunjung tinggi individualisme, kemandirian, dan *self-love*. Di sinilah dilema terbesar muncul: Bagaimana kita bisa benar-benar menyerahkan diri pada konsep "kita" (kebersamaan), jika kita terlalu sibuk melindungi "aku" (identitas diri)?
**Ego: Sang Pelindung yang Menjadi Penjara**
Secara psikologis, ego bukanlah musuh. Ia adalah mekanisme pertahanan diri. Ego memberi kita rasa identitas, batasan (boundaries), dan harga diri. Tanpa ego yang sehat, kita mungkin kehilangan jati diri dan larut dalam keinginan orang lain. Namun, dalam konteks asmara, ego sering kali bermutasi menjadi monster yang haus validasi.
Dilema muncul ketika konflik terjadi. Cinta menuntut kerendahan hati untuk mendengar, sementara ego menuntut untuk didengar. Cinta bertanya, "Apa yang salah dengan hubungan ini?", sementara ego berteriak, "Siapa yang salah dalam hal ini?".
Saat perdebatan memanas, ego mengubah pasangan—orang yang paling kita kasihi—menjadi lawan debat yang harus dikalahkan. Kemenangan argumen menjadi lebih penting daripada kedamaian hubungan. Kita sering melihat pasangan yang saling diam berhari-hari (*silent treatment*), bukan karena mereka tidak lagi saling mencintai, melainkan karena ego mereka melarang untuk menjadi pihak pertama yang mengucapkan kata "maaf".
**Jebakan "Self-Worth" vs Kekeraskepalaan**
Tantangan terbesar bagi generasi modern adalah membedakan antara menjaga harga diri (*self-worth*) dengan memelihara ego yang rapuh. Sering kali, kita berlindung di balik kalimat "Saya berhak mendapatkan yang lebih baik" atau "Ini adalah prinsip saya," padahal sesungguhnya kita hanya enggan berkompromi.
Cinta, pada hakikatnya, adalah seni negosiasi yang terus-menerus. Ia membutuhkan pengorbanan—bukan pengorbanan martabat, melainkan pengorbanan rasa ingin selalu benar. Ketika kita menolak untuk menurunkan ego sedikit saja demi kenyamanan pasangan, kita sebenarnya sedang mencintai citra diri kita sendiri lebih daripada mencintai orang tersebut.
Namun, di sisi lain, dilema ini juga nyata bagi mereka yang terlalu menekan ego. Mencintai tanpa ego sama sekali bisa membuat seseorang kehilangan respek terhadap dirinya sendiri (menjadi *people pleaser*). Ini adalah keseimbangan yang rumit: Bagaimana menurunkan tembok pertahanan tanpa menghancurkan rumah itu sendiri?
**Menemukan Titik Tengah**
Jalan keluar dari dilema ini bukanlah dengan "membunuh" ego, melainkan "menjinakkannya". Kita perlu menyadari bahwa meminta maaf tidak membuat kita terlihat lemah; itu justru menunjukkan kekuatan karakter. Mengalah dalam sebuah argumen kecil demi menjaga perasaan pasangan bukanlah kekalahan, melainkan investasi emosional.
Kita perlu belajar memisahkan antara *masalah* dan *orangnya*. Ego sering mencampuradukkan keduanya; jika pasangan mengkritik tindakan kita, ego merasa diri kita sedang diserang. Padahal, cinta yang dewasa paham bahwa kritik adalah jembatan menuju perbaikan, bukan deklarasi perang.
**Kesimpulan**
Pada akhirnya, pertanyaan yang harus kita ajukan pada diri sendiri saat ego mulai mengambil alih kemudi adalah: *"Apakah saya ingin menjadi benar, atau saya ingin menjadi bahagia bersama?"*
Kita tidak bisa memeluk seseorang dengan erat jika tangan kita sibuk memegang tameng perlindungan diri. Menurunkan ego adalah sebuah risiko, sebuah bentuk kerentanan. Namun, hanya dalam kerentanan itulah cinta yang sejati bisa masuk dan menetap.
Mungkin, ujian terbesar dari cinta bukanlah seberapa besar perasaan yang kita miliki, melainkan seberapa kecil ruang yang kita sisakan untuk ego kita demi memberi tempat bagi orang lain. Karena pada akhirnya, tidak ada tempat bagi ego yang besar dalam sebuah hati yang tulus.
![]() |
| Klik ☝ untuk mengikuti akun Google News Kami agar anda tidak ketinggalan berita menarik lainnya |

