Ambon - Setelah ditetapkan 10 pahlawan nasional baru melalui Keputusan Presiden Nomor 116/TK Tahun 2025, gelombang protes muncul dari masyarakat wilayah timur Indonesia atas tidak tercantumnya nama Abdul Muthalib Sangadji sebagai pahlawan nasional Indonesia.
Pemuda dan juga aktivis Maluku Vigel Faubun angkat suara dari timur nusantara, ia menilai pemerintah tidak mengakui perjuangan A.M. Sangadji dengan berbagai pengorbanannya.
"Negara ini terlalu pandai berpidato tentang persatuan, tapi gagap saat harus mengakui darah yang menetes dari Timur. Nama A.M. Sangadji dibiarkan berkarat di tepi ingatan bangsa, sebuah ironi dari republik yang katanya merdeka atas pengorbanan semua anak negeri" ujar Faubun kepada media ini Selasa (11/11/2025).
Faubun kecewa atas tidak dicantumkan nama A.M Sangadji sebagai pahlawan nasional dan mempertanyakan eksistensi wilayah timur Indonesia. "Apakah Maluku bukan bagian dari Indonesia? Apakah darah dari Rohomoni kurang merah untuk diakui sebagai darah perjuangan? Ataukah pahlawan hanya mereka yang wafat di tengah hiruk-pikuk Tanah Jawa, sementara yang berjuang di tepi Nusantara cukup disebut tokoh lokal?," kesalnya.
Menurutnya, negara menolak memberi gelar Pahlawan Nasional kepada A.M. Sangadji, tapi tanpa malu meminjam semangatnya untuk pidato 17 Agustus. Mereka membangun monumen, menulis prasasti, namun lupa menulis keadilan dalam hati. "Ini bukan kelalaian, ini adalah bentuk kesombongan dan pembunuhan sejarah" tegasnya.
Pemerintah Provinsi dinilai tak mampu memperjuangkan jati diri Maluku sebagai identitas dan warisan perjuangan yang tenggelam. "Lebih menyakitkan lagi, pemerintah provinsi Maluku pun seperti kehilangan keberanian. Mereka bicara tentang “identitas Maluku”, tapi membiarkan warisan perjuangan terbenam di arsip kementerian" ujarnya.
Lanjutnya, "Mereka berfoto di depan monumen Sangadji, namun tak berani mengetuk keras pintu negara untuk menuntut pengakuan. Mereka lebih sibuk pada proyek, bukan perjuangan. Lebih gemar merayakan nama, daripada menegakkan makna" tambahnya.
Padahal, A.M. Sangadji bukan sekadar nama. Ia adalah harga diri Maluku, bukti bahwa kepintaran dan keberanian tidak lahir dari istana, melainkan dari tanah dan laut yang tahu arti kehilangan.
Ketika negara menolak mengangkat Sangadji sebagai pahlawan nasional, itu bukan hanya penghinaan bagi satu nama, tetapi penghinaan bagi seluruh sejarah timur Indonesia yang terus ditempatkan di ruang tunggu kemerdekaan.
"Mereka menunda pengakuan, seakan keadilan bisa disimpan dalam laci pejabat. Namun sejarah tak menunggu. Ia mencatat dan akan menulis, bahwa suatu hari bangsa ini akan diadili oleh ingatannya sendiri" ungkapnya.
Faubun berharap masyarakat timur khususnya Maluku terus mengatakan kebenaran dan melayangkan nama A.M. Sangadji sebagai sosok pahlawan nasional dari timur Indonesia disaat pemerintah menutup mata.
"Negara boleh menolak, pemerintah daerah boleh diam, tapi rakyat Maluku seng akan lupa. Karena di dada tiap anak Haruku, nama A.M. Sangadji bukan sekadar gelar, ia adalah amarah yang diwariskan, dan panggilan untuk menulis ulang sejarah dengan tinta kebenaran yang tak bisa disensor" pungkasnya. (Eh)
![]() |
| Klik ☝ untuk mengikuti akun Google News Kami agar anda tidak ketinggalan berita menarik lainnya |

