Jakarta - Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Konawe Utara (KPU KONUT) kini berada di bawah sorotan tajam publik setelah mencuat dugaan penyimpangan pengelolaan dana hibah Pilkada 2023/2024 senilai Rp45 miliar.
Hasil audit Inspektorat Jenderal KPU RI mengindikasikan adanya penyalahgunaan anggaran dan kegiatan fiktif senilai 1,6 Miliar yang menimbulkan pertanyaan serius tentang integritas lembaga penyelenggara pemilu di daerah.
Merespons hal itu, Lembaga Intelektual Demokrasi Indonesia Sulawesi Tenggara (LIDIK SULTRA) mendesak Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk mengambil alih penanganan perkara dari Kejaksaan Negeri Konawe, demi memastikan penegakan hukum berjalan objektif, menyeluruh, dan bebas dari tekanan struktural.
“Kasus ini tidak cukup ditangani di level lokal. Ada potensi penyempitan tanggung jawab hanya pada individu tertentu, padahal dana hibah Pilkada dikelola secara kolektif-kolegial. Karena itu, Kejagung harus turun tangan,” tegas Direktur Eksekutif LIDIK SULTRA Robby Anggara, dalam keterangan persnya, Minggu (27/10).
Dalam audit yang dilakukan oleh Inspektorat Jenderal KPU RI, ditemukan adanya ketidaksesuaian antara laporan pertanggungjawaban dan realisasi kegiatan. Beberapa kegiatan yang dilaporkan dalam dokumen hibah tidak memiliki bukti pelaksanaan sah, sementara sebagian dana diduga digunakan di luar peruntukan.
“Audit bukan formalitas birokrasi, tapi instrumen korektif negara. Ketika hasil audit menemukan penyimpangan dan respon hukum lambat, maka kita sedang menghadapi erosi kepercayaan publik,” ujar Robby
Secara hukum tata kelola lembaga independen, KPU bekerja berdasarkan prinsip kolektif-kolegial. Artinya, setiap keputusan pencairan dan penggunaan dana hibah Pilkada harus disetujui dan diketahui seluruh komisioner. Dengan demikian, dugaan penyimpangan yang terjadi tidak bisa dilekatkan hanya pada pejabat sekretariat.
Namun ironisnya muncul dugaan bahwa penetapan tersangka nantinya hanya akan diarahkan pada eks Sekretaris KPU Konut. Sementara seluruh komisioner yang memiliki kewenangan kolektif dalam pengambilan keputusan keuangan justru berpotensi “dilindungi”.
“Tidak ada sekretaris yang bisa mengalirkan dana tanpa otorisasi komisioner. Jika benar ada penyimpangan, seluruh komisioner harus diperiksa. Itu konsekuensi hukum dari sistem kolegial,” tegas Direktur Eksekutif LIDIK SULTRA.
LIDIK SULTRA menilai, pembiaran terhadap logika “tersangka tunggal” akan mencederai prinsip keadilan substantif dan menimbulkan preseden buruk bagi lembaga penyelenggara pemilu di seluruh Indonesia.
Sebagai bentuk tindak lanjut, LIDIK SULTRA menyatakan akan bertandang langsung ke Kejagung RI dan DKPP RI di Jakarta untuk menyerahkan laporan resmi dan bukti-bukti permulaan terkait dugaan penyimpangan dana hibah tersebut untuk memastikan proses hukum dan etik berjalan berimbang.
“Kejagung perlu melakukan supervisi agar proses hukum tidak macet di daerah. DKPP juga wajib menilai aspek etik komisioner,” tutup Robby Anggara Direktur Eksekutif Lembaga Intelektual Demokrasi Indonesia Sulawesi Tenggara (LIDIK SULTRA)
Kejari Konawe telah mengonfirmasi bahwa penyidikan atas dugaan penyimpangan dana hibah Pilkada di KPU Konut sedang berlangsung.
LIDIK SULTRA berencana bertandang ke Kejagung RI dan DKPP RI pada pekan depan untuk menyerahkan dokumen bukti-bukti permulaan dan rekomendasi penegakan etik serta hukum untuk memastikan pengawasan berlapis terhadap kasus tersebut. (OR-Rls)
![]() |
| Klik ☝ untuk mengikuti akun Google News Kami agar anda tidak ketinggalan berita menarik lainnya |

