Ternate - Mereka datang bukan membawa senjata. Hanya suara, dan luka dari tanah yang dicabik. Tapi pagi itu, gerbang Kejaksaan Tinggi Maluku Utara tetap tertutup rapat. Suara mereka tak digubris. Maka, pintu itu didobrak.
Aliansi Solidaritas 11 Maba Sangaji Menggugat, yang terdiri dari IMM, PMII, LMD, dan warga Halmahera Timur, berdiri mengepung pagar hukum yang dianggap tumpul ke perusahaan, tapi tajam ke rakyat.
Mereka menuntut pembebasan 11 warga adat Maba Sangaji yang kini diseret ke meja hijau, hanya karena mempertahankan hutan dan sungai dari tambang PT. Position. Warga yang hidup turun-temurun menjaga tanah leluhur, kini dituduh preman. Preman? Di tanahnya sendiri?
Penangkapan itu tak hanya menyakitkan. Ia kasar, penuh intimidasi, tanpa pendamping hukum. Satu dipukul, dua dipaksa tanda tangan, semua diambil sidik jarinya seolah pelaku kriminal, padahal yang mereka pertahankan cuma: hidup.
"Ini bukan sekadar kriminalisasi. Ini pembungkaman terhadap yang paling dasar: hak untuk hidup di tanah sendiri," ujar Mujahir Sabihi, koordinator aksi, Rabu (06/08/2025).
Aliansi menuntut: cabut izin tambang PT. Position, sahkan RUU Masyarakat Hukum Adat, audit kerugian negara Rp374,9 miliar, dan bebaskan 11 warga tanpa syarat. Bila semua tuntutan ini hanya ditampung dalam diam, mereka bersiap: Maluku Utara referendum. (OR-Ri/iky)
![]() |
Klik ☝ untuk mengikuti akun Google News Kami agar anda tidak ketinggalan berita menarik lainnya |