Kota Sorong – Ketua Bidang Organisasi Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Kabupaten Sorong, Gamaliel M. Kaliele, melontarkan kritik tajam terhadap penyelenggaraan upacara 17 Agustus di Provinsi Papua Barat Daya. Menurutnya, semangat nasionalisme sejati justru diperlihatkan oleh anak-anak di pedalaman Papua—bukan oleh mereka yang hidup dengan segala fasilitas, namun gagal menunjukkan keteguhan dalam menjalankan tugas.
“Anak-anak SD di pedalaman Nabire itu yang layak mendapat pujian dan penghargaan. Mereka hidup jauh dari hiruk pikuk kota, dalam keterbatasan, tapi tetap bisa melaksanakan upacara kemerdekaan dengan penuh kedisiplinan. Walau hanya bertiga, tanpa sepatu, tanpa fasilitas memadai—mereka tetap berdiri tegak, memberi hormat pada Sang Merah Putih. Itu baru nasionalisme murni, bukan basa-basi,” tegas Gamaliel.
Ia menyoroti kontras mencolok dengan kondisi di Papua Barat Daya yang sarat fasilitas. “Di sana sudah ada makan-minum, layanan kesehatan, hingga pelatihan fisik. Tapi kenapa masih ada pasukan pengibar bendera yang tumbang hanya karena terlambat makan atau sedikit kepanasan? Itu alasan yang tidak masuk akal. Malu kita,” ujarnya dengan nada lantang.
Gamaliel menyebut bahwa semangat anak-anak di Nabire seharusnya menjadi cermin nasionalisme sejati. “Tanpa gizi cukup, tanpa latihan militer, tanpa pengawasan medis—mereka tetap kuat. Mereka hormat bendera dengan dada tegak dan wajah bangga. Tapi di provinsi yang fasilitasnya lengkap, malah mempertontonkan kelemahan. Itu memalukan. Itu mencoreng makna kemerdekaan,” tegasnya.
Tak hanya itu, Gamaliel juga mengkritik peran media yang dinilainya lebih sibuk mengekspos drama pingsan ketimbang menggali esensi perjuangan rakyat. “Media di Papua Barat Daya cepat sekali meliput soal pasukan tumbang, katanya demi merah putih. Hahaha… Merah putih itu bukan pingsan di lapangan. Merah putih itu keteguhan, pengorbanan, dan kesetiaan—bukan seremoni penuh polesan, bukan fasilitas mewah yang diklaim sebagai perjuangan. Itu pencitraan murahan,” ujarnya tajam.
Sebagai pengurus GMNI, Gamaliel menekankan pentingnya membedakan antara nasionalisme tulus dan nasionalisme setting-an. “Nasionalisme sejati lahir dari hati, dari anak-anak yang tetap menjaga kehormatan bendera meski tanpa apa-apa. Nasionalisme palsu lahir dari kamera, seremoni, dan pejabat yang lebih sibuk pencitraan daripada melayani rakyat,” katanya.
Ia juga menyerukan agar masyarakat dan pemerintah lebih fokus pada isu yang benar-benar penting. “Kalau mau jujur, yang harusnya kita soroti bukan anak pingsan di lapangan, tapi korupsi di Papua Barat Daya yang makin merajalela. Itu ancaman nyata. Itu yang menghancurkan masa depan rakyat. Bukan kurangnya air minum saat upacara,” tegasnya.
Menutup pernyataannya, Gamaliel menyampaikan pesan lugas:
“Rakyat tidak butuh tontonan. Rakyat butuh keadilan. Jangan tutupi kegagalan pemerintah dengan seremoni mewah. Ukur nasionalisme dari keberanian melawan korupsi dan ketulusan membela rakyat kecil. Itu baru merah putih sejati.” (OR-YK)
![]() |
Klik ☝ untuk mengikuti akun Google News Kami agar anda tidak ketinggalan berita menarik lainnya |