![]() |
Foto: Mantan Ketua DPR RI, Setya Novanto. (Instagram @s.novanto) |
Putusan ini dikutip dari situs resmi MA pada Rabu, 2 Juli 2025. Dalam salinan putusan disebutkan bahwa Novanto tetap dinyatakan bersalah melanggar Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi serta Pasal 55 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
"Pidana penjara selama 12 tahun dan enam bulan," tulis amar putusan tersebut.
Hak Politik dan Uang Pengganti Juga Dipangkas
Mahkamah Agung tidak hanya memangkas masa hukuman pokok, tetapi juga mengurangi masa pencabutan hak politik Setya Novanto. Jika sebelumnya hak politiknya dicabut selama 5 tahun, kini hanya berlaku selama 2 tahun 6 bulan, terhitung setelah masa pidananya berakhir.
Selain itu, MA menetapkan bahwa Novanto tetap harus membayar denda sebesar Rp500 juta dengan ketentuan subsider 6 bulan kurungan. Ia juga diwajibkan membayar uang pengganti sebesar 7,3 juta dolar Amerika Serikat. Namun, kewajiban tersebut dikompensasi sebesar Rp5 miliar karena Novanto telah menitipkan dana tersebut ke penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Sisa uang pengganti yang harus dibayar Novanto berjumlah sekitar Rp49 miliar. Jika tidak dibayarkan, maka ia akan menjalani tambahan hukuman penjara selama 2 tahun.
Dengan putusan ini, Setya Novanto yang mulai ditahan sejak 19 November 2017, diperkirakan bisa bebas pada tahun 2030 atau bahkan lebih cepat jika mendapat remisi.
Perjalanan Panjang Kasus Korupsi e-KTP Setya Novanto
Kasus korupsi proyek e-KTP dimulai pada periode 2011 hingga 2013, ketika pemerintah menggulirkan program KTP elektronik dengan nilai anggaran sebesar Rp5,9 triliun. Dalam perjalanannya, proyek ini terungkap merugikan negara hingga Rp2,3 triliun dan menyeret sejumlah pejabat tinggi.
Nama Setya Novanto mencuat sejak awal proses penyidikan. Saat itu, ia menjabat sebagai Ketua Fraksi Partai Golkar di DPR RI dan diduga menerima aliran dana korupsi sebesar 7,3 juta dolar Amerika Serikat melalui perantara dan pengaruh politiknya.
Pada 17 Juli 2017, KPK menetapkan Setnov sebagai tersangka, namun status tersebut sempat dibatalkan oleh putusan praperadilan. KPK kembali menetapkannya sebagai tersangka pada 31 Oktober 2017. Saat hendak ditangkap, Novanto sempat menghilang dan kemudian muncul dalam kondisi mengalami kecelakaan mobil, yang menimbulkan kontroversi publik.
Setya Novanto akhirnya ditahan oleh KPK pada 19 November 2017. Ia mulai disidangkan pada Desember 2017 dan divonis bersalah oleh Pengadilan Tipikor Jakarta pada 24 April 2018. Vonis tersebut menjatuhkan hukuman penjara selama 15 tahun, denda Rp500 juta, uang pengganti 7,3 juta dolar Amerika Serikat, serta pencabutan hak politik selama 5 tahun.
Setelah menempuh jalur banding dan kasasi yang ditolak, Novanto mengajukan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung. Pada 2 Juli 2025, MA mengabulkan PK tersebut dan memutuskan untuk mengurangi masa hukuman serta hukuman tambahan lainnya.
Putusan ini memicu berbagai tanggapan dari publik dan pengamat hukum, mengingat Setya Novanto merupakan tokoh sentral dalam salah satu kasus korupsi terbesar yang pernah diusut di Indonesia. Banyak pihak menilai langkah ini berisiko melemahkan efek jera dalam penegakan hukum terhadap koruptor. (OR-L)
![]() |
Klik ☝ untuk mengikuti akun Google News Kami agar anda tidak ketinggalan berita menarik lainnya |