Ambon - Menjelang peringatan Hari Ulang Tahun ke-80 Republik Indonesia, Vigel Faubun, pemerhati budaya dan suara kritis Maluku, menegaskan bahwa kemerdekaan sejati bagi rakyat Maluku masih jauh dari kenyataan. Menurutnya, hadirnya berbagai korporasi tambang, perkebunan, dan proyek investasi besar justru menjadi bentuk penjajahan baru di tanah adat.
“Saya ingin katakan dengan tegas, 80 tahun Indonesia merdeka, tapi rakyat Maluku belum sungguh merdeka. Kami masih miskin di atas tanah yang kaya, kami masih menjadi penonton ketika kekayaan alam mengalir keluar, sementara masyarakat adat kehilangan ruang hidupnya,” ujar Vigel dalam keterangannya, Sabtu (16/8/2025).
Tanah Adat Dirampas, Rakyat Terpinggirkan
Vigel menyoroti praktik eksploitasi di berbagai wilayah Maluku, mulai dari tambang emas di Gunung Botak, Pulau Buru, yang hingga kini terus menimbulkan kerusakan hutan dan pencemaran sungai akibat penggunaan merkuri. “Air yang dulunya menjadi sumber kehidupan kini tercemar, dan generasi di sana terancam penyakit karena kerakusan perusahaan yang dibiarkan oleh negara,” ungkapnya.
Di Tanah Seram, pertambangan nikel dan perkebunan skala besar semakin mempersempit ruang hidup masyarakat adat. Ironisnya, ketika warga mencoba melawan, mereka justru berhadapan dengan kriminalisasi dan persidangan. Kasus terbaru sidang perusakan alat berat perusahaan, kata Vigel, memperlihatkan bagaimana rakyat yang membela tanah leluhurnya justru diposisikan sebagai penjahat, sementara perusak hutan dan laut tetap dilindungi.
Eksploitasi Tanpa Henti
Vigel juga menyinggung persoalan keberadaan PT Batu Licin di Kei Besar yang menimbulkan keresahan masyarakat adat. “Perusahaan tambang ini masuk tanpa proses yang transparan, tanpa persetujuan masyarakat adat, dan berpotensi besar menghancurkan ekosistem pulau kecil yang rapuh,” tegasnya.
Di laut, situasi tak kalah parah. Laut Maluku yang kaya ikan justru menjadi sasaran pencurian kapal asing dan kapal bermodal besar. “Orang Maluku semakin sulit melaut, karena hasil laut diangkut keluar oleh kapal-kapal asing. Anak-anak muda akhirnya terpaksa meninggalkan kampung karena laut yang menjadi ibu kehidupan telah dirampas,” tambahnya.
Kemerdekaan yang Belum Adil
Menurut Vigel, perayaan kemerdekaan setiap tahun seakan hanya menjadi seremoni tanpa makna bagi rakyat Maluku. Ia menilai negara masih lebih berpihak kepada korporasi ketimbang kepada rakyat yang menjaga tanah dan lautnya.
“Bagi saya, kemerdekaan itu bukan soal parade bendera atau upacara tahunan. Kemerdekaan itu soal keadilan sosial, soal pengakuan terhadap hak adat, soal bagaimana generasi muda Maluku bisa hidup layak di tanahnya sendiri. Itu yang sampai hari ini belum ada,” ungkap Vigel.
Krisis Pendidikan, Jalan, dan Kesehatan
Selain soal eksploitasi, Vigel menegaskan bahwa ketidakadilan juga hadir dalam pembangunan manusia Maluku.
Pendidikan: Masih banyak anak di pulau-pulau terpencil Maluku yang tidak bisa mengakses sekolah dengan layak. Guru minim, fasilitas rusak, bahkan ada sekolah yang hanya bertahan dengan guru honorer tanpa gaji.
Jalan dan Infrastruktur: Di banyak daerah, akses jalan masih sulit, jembatan rusak, dan transportasi antarpulau terabaikan. “Bagaimana anak-anak bisa ke sekolah, bagaimana orang sakit bisa ke rumah sakit, kalau jalan dan kapal tidak ada?” tanyanya.
Kesehatan: Puskesmas minim fasilitas, obat sering kosong, dan tenaga medis tidak mencukupi. “Masih ada orang Maluku yang meninggal di atas perahu hanya karena tidak sempat sampai ke rumah sakit,” ujarnya pilu.
Seruan untuk Pemerintah dan Generasi Muda
Dalam refleksinya, Vigel menyerukan agar pemerintah pusat tidak lagi menutup mata terhadap penderitaan Maluku.
“Saya minta kepada pemerintah, cukup sudah menjadikan Maluku sebagai ladang eksploitasi. Jangan hanya datang membawa janji pembangunan, tapi biarkan rakyat menentukan masa depannya sendiri. Jangan rampas ruang hidup kami demi keuntungan segelintir orang,” ujarnya dengan nada tegas.
Kepada generasi muda Maluku, Vigel menitipkan pesan agar tidak tinggal diam.
“Kita tidak boleh lagi hanya menonton. Kita harus bersuara, kita harus menjaga tanah dan laut kita. Kalau bukan kita yang berdiri di barisan depan, maka siapa lagi? Kemerdekaan bukan hadiah, kemerdekaan itu perjuangan, dan perjuangan itu masih terus kita jalani sampai hari ini,” tandasnya.
Refleksi untuk Indonesia
Di usia ke-80 tahun Indonesia merdeka, Vigel mengingatkan bahwa tanpa keadilan untuk Maluku dan daerah lain yang terus dieksploitasi, kemerdekaan hanya akan menjadi milik segelintir orang.
“Beta percaya, Maluku tidak minta lebih. Maluku hanya ingin tanah yang tetap terjaga, laut yang bersih, pendidikan yang layak, jalan yang baik, kesehatan yang adil, dan ruang hidup yang aman bagi anak cucu kami. Kalau itu tidak ada, maka 80 tahun kemerdekaan ini hanyalah angka, bukan makna,” pungkasnya. (OR-EH)
![]() |
Klik ☝ untuk mengikuti akun Google News Kami agar anda tidak ketinggalan berita menarik lainnya |