Kepada awak media di Namlea,Selasa (22/7/2025), putra adat Bupolo, Niko Nurlatu mengatakan, beberapa waktu lalu Polda Maluku telah melakukan penangkapan terhadap sejumlah bos-bos besar yang merupakan mafia di wilayah tambang GB. Para bos-bos tersebut sudah dibawah ke Mapolda Maluku, Kota Ambon.
Sebagian bos berhasil ditangkap. Tapi ada banyak yang sampai saat ini masih bebas melakukan penjual bahan berbahaya dan beracun (B3) berupa mercury dan sianida secara ilegal.
Aku Niko, para bos-bos besar ini menggunakan kaki tangannya untuk melakukan pemasaran kepada oknum-oknum yang sedang beroperasi melakukan pengolahan emas dengan metode rendaman, baik di wilayah Wasboli maupun di wilayah Sungai Anahoni dan Gunung Botak.
"Kegiatan jual beli bahan berbahaya (B3) ini bebas di jual tak ubahnya penjualan sembako," ungkap Niko.
Tempat penjualan B3 sebagian besar berlokasi di kawasan tambang Gunung Botak, lebih tepatnya di Jalur B, Desa Wamsait.
Sejumlah kaki tangan para bos besar ini tak hanya menjual B3.Namun para jongos ini di tugaskan untuk melobi ke setiap penambang untuk melakukan pembelian emas dari para penambang tersebut,
Lanjut Niko, Keterangan yang diperoleh dari salah satu sumber tertentu yang dirahasiakan namanya, bahwa ia pernah menjadi jongos bos besar pengedar dan pelaku rendaman di wilayah Gunung Botak.
Peran mereka berbeda-beda, ada yang berperan sebagai Bek yang tugasnya menyembunyikan aktifitas mereka dari sentuhan publik dan media, ada juga berperan sebagai keamanan dan ada yang menjadi negosiator.
"Dia menceritakan bahwa peran dirinya untuk melobi dan menawarkan B3 tersebut kepada mereka mereka yang melakukan aktifitas penambangan dengan metode rendaman, dirinya mendapat setoran dari penjualan per 1 kaleng berkisar 500 ribu," beberapa Niko.
Dalam 1 hari penjualan di atas 200 kaleng terjual secara ilegal. Jika dihitung per minggu biasanya di atas 1000 kaleng laris terjual. Bisa dibayangkan jika dalam kurun 14 tahun tambang ilegal ini berjalan sudah ratusan sampai ribuan ton merkuri dan sianida beredar mencemari lingkungan,"tutur Niko.
Olehnya tak heran banyak pihak yang mendesak pemerintah untuk secepatnya di tata dengan baik wilayah Gunung Botak.
Sikap ini dijemput secara baik oleh Gubernur dengan adanya penerbitan sejumlah Izin pertambangan Rakyat (IPR) kepada 10 koperasi.
Namun yang sangat disesali oleh Niko, sikap dan niat baik Pemerintah Provinsi Maluku ini menuai kecaman dari oknum-oknum tertentu dengan dalih berdampak terhadap mata pencaharian masyarakat kecil.
Padahal, kata Niko, kalau sesungguhnya yang berteriak itu adalah Jongos-Jongos dan kaki tangan para Bos besar pengedar B3.
"Sebab penutupan dan penertiban itu sudah barang tentu akan mengganggu atau bahkan menghentikan aktifitas penjualan mereka,"nilai Niko.
Niko cermati, klau para penambang kecil yang melakukan aktifitas di wilayah Gunung Botak dengan menggunakan peralatan seperti linggis dengan istilah BAKODOK-KODONG sangat miris pendapatannya dengan tingkat ancaman resiko lebih tinggi dibandingkan dengan para jongos dan bos besar yang meraup keuntungan di atas ratusan jutaan dengan tingkat resiko kecil.
Banyak dari pada penambang kecil ini sering menjadi korban tertimbun longsor akibat dari tembakan Dompeng terhadap material gunung.
Mereka juga menjadi sasaran kriminal oleh oknum-oknum tak bertanggung jawab, seakan mati terbunuh adalah hal biasa di Gunung Botak.
Jadi tidak heran ketika pemerintah provinsi bersikap untuk menata Gunung Botak, lalu banyak beredar di media dan media sosial menuai kritik terhadap kebijakan pemerintah provinsi tersebut.
Jika ditelusuri lebih lanjut, maka akan diketahui mereka-mereka itu adalah bagian dari jongos bos besar mafia tambang dengan latar belakang yang berbeda.
"Mereka mereka ini tetap ingin Gunung Botak dikelola secara bebas dan ilegal agar para jongos ini tetap mendapat setoran dari bos-bos mereka, " tandas Niko.(LTO)
![]() |
Klik ☝ untuk mengikuti akun Google News Kami agar anda tidak ketinggalan berita menarik lainnya |