Ternate – Menjelang sidang putusan terhadap 11 warga adat Maba Sangaji, Halmahera Timur, yang akan digelar di Pengadilan Negeri Soasio, Tidore, pada 16 Oktober 2025, empat organisasi mahasiswa dan pemuda Maluku Utara kembali menyuarakan desakan keras kepada Gubernur Provinsi Maluku Utara, Sherly Laos, serta DPRD Provinsi Maluku Utara untuk ambil sikap politik yang tegas dan nyata dalam membela rakyat adat yang tengah dikriminalisasi.
Desakan ini datang dari Sentral Organisasi Pelajar Mahasiswa Indonesia Halmahera Timur (SeOPMI HALTIM MALUT), Asosiasi Mahasiswa Pemuda Pelajar Tobelo, Galela, Malifut, Morotai, Loloda, Kao (AMPP TOGAMMOLOKA) MALUT, Pengurus Besar dJaringan Mahasiswa Nuku (PB-dJAMAN) MALUT, dan Badan Pengurus Himpunan Pemuda Pelajar Mahasiswa Morotai (BP-HIPMAMORO) MALUT.
Keempat organisasi tersebut menilai, kasus penahanan terhadap 11 warga adat yang mempertahankan tanah ulayat dari ekspansi tambang PT. Position merupakan bentuk nyata ketimpangan hukum dan penindasan terhadap rakyat kecil. Mereka menegaskan bahwa keadilan sejati akan diuji pada persidangan mendatang di tengah kuatnya tekanan industri ekstraktif terhadap lembaga hukum.
“Jika Gubernur Sherly Laos dan DPRD Maluku Utara masih memilih diam, maka mereka bukan lagi perwakilan rakyat, melainkan bagian dari sistem yang melanggengkan penjajahan atas nama investasi. Tidak ada ruang netralitas dalam kezaliman,” tegas juru bicara aliansi, Riski Ikra, Selasa (14/10/2025).
Aliansi mahasiswa dan pemuda itu juga menyoroti sikap pasif DPRD Provinsi Maluku Utara yang dinilai gagal menjalankan fungsi pengawasan dan representasi politik rakyat. Mereka menyebut DPRD seharusnya menjadi garda terdepan dalam membela kepentingan masyarakat, bukan bersembunyi di balik alasan prosedural sementara rakyat ditindas oleh kekuatan modal.
Dalam momentum menjelang sidang ini, aliansi juga mengumumkan pembentukan gerakan baru bertajuk “OKP MALUKU UTARA BERGERAK”, yang akan menghimpun seluruh organisasi kemahasiswaan dan kepemudaan di Maluku Utara. Gerakan ini dibentuk sebagai kekuatan tekanan politik kolektif untuk mengawal proses hukum, menuntut pembebasan 11 warga adat, serta mendesak pemerintah mencabut izin perusahaan tambang yang telah merampas ruang hidup masyarakat adat.
“Jika ke-11 warga adat itu divonis bersalah, kami pastikan gelombang perlawanan akan meluas. Kami menyerukan kepada seluruh OKP dan elemen rakyat Maluku Utara untuk bersiap turun ke jalan. Ketidakadilan terhadap satu rakyat adalah ancaman bagi seluruh rakyat,” ujar salah satu perwakilan aliansi.
Aliansi tersebut juga menegaskan bahwa pembangunan yang mengorbankan rakyat bukanlah kemajuan, melainkan bentuk pengkhianatan terhadap konstitusi dan nilai-nilai kemanusiaan. Mereka menilai, rakyat Maluku Utara terlalu sering menjadi korban atas nama investasi dan pembangunan yang hanya memperkaya elit serta korporasi besar.
“Jika negara gagal membela rakyatnya, maka kekuatan rakyatlah yang akan mengambil alih ruang-ruang keadilan yang telah lama dibajak oleh modal dan kekuasaan,” tutup pernyataan mereka dengan nada tegas.
Sidang putusan terhadap 11 warga adat Maba Sangaji pada Kamis, 16 Oktober 2025, diperkirakan akan menjadi ujian moral dan politik bagi pemerintah daerah, sekaligus tolok ukur keberpihakan hukum terhadap rakyat kecil di tengah derasnya arus investasi tambang di Maluku Utara. (OR-Ri)
![]() |
Klik ☝ untuk mengikuti akun Google News Kami agar anda tidak ketinggalan berita menarik lainnya |