![]() |
| Oleh: Brekmans Charles Mary, Mahasiswa Magister Departemen Politik dan Pemerintahan, FISIPOL UGM |
Bahkan sebelumnya, angka yang sempat beredar mencapai Rp756 juta sebelum diklarifikasi sebagai kesalahan teknis dalam proses transfer ke rekening anggota dewan. Kenaikan signifikan ini memunculkan pertanyaan besar: apakah benar ada urgensi atau justru terdapat kepentingan politik yang dibungkus secara formal?
Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad, menyampaikan bahwa kenaikan anggaran tersebut didasari penambahan titik reses dan tanggung jawab politis anggota dewan terhadap konstituen. Namun pernyataan ini dianggap belum menyentuh akar persoalan. Publik mempertanyakan apakah penambahan titik reses benar-benar membutuhkan kenaikan anggaran sebesar itu, atau justru menjadi bentuk baru “tunjangan terselubung”.
Antara Konsep Ideal dan Praktik Reses di Lapangan
Secara normatif, reses adalah momentum bagi wakil rakyat untuk turun langsung ke daerah pemilihan, menyerap aspirasi, serta menyampaikan kinerja mereka. Landasan hukum pelaksanaan reses diatur dalam UU No. 17 Tahun 2014 (UU MD3) dan peraturan DPR lainnya. Dalam teori demokrasi, reses seharusnya menjadi ruang dialogis yang partisipatif dan deliberatif—sebagaimana digagas Jurgen Habermas dan Carole Pateman.
Namun kenyataan di lapangan jauh dari ideal. Reses kerap dinilai sebatas seremoni politik, minim diskusi substantif, dan hanya menjadi ajang formalitas. Pola komunikasi yang buruk, rendahnya partisipasi warga, dan minimnya transparansi menjadikan reses kehilangan makna demokratisnya.
Dalam banyak kasus, reses justru ditunggangi praktik politik patronase. Mulai dari pembagian sembako, uang tunai, hingga kegiatan seremonial yang tidak relevan dengan penyerapan aspirasi.
Kasus penyalahgunaan dana reses bukan hal baru:
-
Kabupaten Bandung Barat (2023) – Dana reses diduga digunakan untuk pembagian sembako dan uang tunai, bertentangan dengan PP No. 12/2018.
-
Kota Medan (2022) – Reses dipenuhi kegiatan formal tanpa dialog substansial, aspirasi masyarakat jarang ditindaklanjuti.
Dengan berbagai persoalan tersebut, publik bertanya: apakah penambahan biaya reses justru akan memperbesar potensi penyalahgunaan?
Dana Besar, Akuntabilitas Minim
Ketua Komisi XI DPR RI, Mukhamad Misbakhun, menyatakan dana reses bukanlah “penghasilan” anggota DPR, melainkan sepenuhnya digunakan untuk masyarakat. Namun pernyataan ini dianggap terlalu normatif karena tidak menjelaskan detail penggunaan dana, mekanisme pengawasan, maupun output kegiatan.
Fakta menunjukkan bahwa persoalan utama reses bukan sekadar anggaran, melainkan kualitas pelaksanaannya. Tanpa perbaikan prinsip partisipatif, transparansi, dan akuntabilitas, kenaikan anggaran justru berpotensi memperlebar jarak antara wakil rakyat dan publik.
Momentum Perbaikan Substansi Reses
Kenaikan anggaran reses semestinya menjadi momentum untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap substansi dan mekanisme pelaksanaan reses. Standarisasi pelaksanaan, transparansi anggaran, hingga publikasi hasil reses secara terbuka menjadi kebutuhan mendesak.
Evaluasi kinerja reses dapat dilakukan melalui:
-
Kualitas laporan dan tindak lanjut aspirasi,
-
Indikator efektivitas penggunaan anggaran,
-
Pengawasan publik melalui akses informasi yang terbuka.
Reses harus kembali ke tujuan awalnya: menjadi sarana bagi wakil rakyat memperjuangkan aspirasi masyarakat, bukan sekadar formalitas administratif atau alat konsolidasi politik elektoral.
Profil Penulis:
Nama: Brekmans Charles Mary
Panggilan: Charles
Jenis Kelamin: Laki-laki
Alamat: Aebubu, RT 011/RW 05, Desa Aebubu, Kecamatan Paga, Kabupaten Sikka, NTT
Pekerjaan: Wiraswasta
Saat ini menempuh pendidikan Magister di Departemen Politik dan Pemerintahan, FISIPOL Universitas Gadjah Mada.
![]() |
| Klik ☝ untuk mengikuti akun Google News Kami agar anda tidak ketinggalan berita menarik lainnya |

