Piru – Rencana pembangunan markas Batalyon TNI di Negeri Kawa, Kecamatan Seram Barat, Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB), menuai penolakan keras dari sejumlah tokoh adat dan pemangku kepentingan di wilayah tersebut.
Penolakan tersebut datang langsung dari para Raja dan Saniri (Dewan Adat) dari beberapa negeri Sudara, termasuk Negeri Neniari, Nuruwe, Piru, Wakolo, dan lainnya yang menyatakan bahwa lokasi pembangunan seluas 60 hektare tersebut merupakan bagian dari tanah adat mereka yang disebut "wilayah petuanan".
Dalam keterangan kepada media, Senin (20/10/2025), Simon Matital selaku Raja Negeri Nuruwe menyatakan bahwa keputusan pembangunan Batalyon TNI di Negeri Kawa diambil secara sepihak tanpa melibatkan negeri-negeri yang memiliki hak adat atas wilayah tersebut.
"Pemerintah Negeri Kawa tidak menghargai hak-hak adat yang telah disepakati oleh leluhur sejak ratusan tahun lalu. Keputusan ini diambil tanpa melibatkan negeri Sudara yang berada di kepala air serta Saniri dari tiga batang air Eti dan Sapalewa," tegas Simon.
Penolakan serupa juga disuarakan oleh Raja Negeri Neniari Gunung, Piter Rumasoal, serta Raja Negeri Piru, Asher Lekalaete. Mereka menegaskan bahwa lahan yang direncanakan menjadi lokasi pembangunan telah lama dimanfaatkan masyarakat adat untuk pertanian, perkebunan, dan pemukiman.
"Wilayah Binaba, Wai Seke, dan sekitarnya bukan lahan kosong. Sudah ditanami ratusan hektar pohon kelapa, pala, dan tanaman produktif lainnya. Bahkan, Wai Seke merupakan salah satu perkampungan tua yang telah ada sebelum kemerdekaan Indonesia," ujar salah satu tokoh adat.
Sejumlah bukti sejarah juga disampaikan, termasuk jejak perkampungan tua yang dahulu dipimpin oleh almarhum Kastuli (Nikodemus Lumatalale), serta peran historis para pemimpin adat seperti Kapitan Pattihua Lumatalale, yang dikenal dengan gelar kehormatan Upu Rumasoal Hena Nenali Nuruwe Lumabotoi.
Keluarga besar Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Sisine Nenali Nuruwe turut bersuara, meminta seluruh pihak, termasuk Pemerintah Kabupaten SBB, Pemprov Maluku, Pangdam XVI/Pattimura, Mabes TNI, dan Kementerian Pertahanan, untuk segera meninjau kembali lokasi pembangunan.
“Kami tidak menolak kehadiran TNI. Tapi proses ini harus melalui mekanisme yang benar dan menghormati hak ulayat masyarakat adat. Jangan sampai ini memicu konflik berkepanjangan,” ungkap perwakilan adat.
Para tokoh adat berharap agar pemerintah dan institusi TNI terbuka untuk berdialog, guna mencari solusi damai dan menghormati sejarah serta kedaulatan adat yang telah berlangsung turun-temurun di wilayah tersebut. (OR-EH)
![]() |
Klik ☝ untuk mengikuti akun Google News Kami agar anda tidak ketinggalan berita menarik lainnya |