Ambon – Dugaan praktik tambang ilegal mencuat di Desa Poka, Kecamatan Teluk Ambon, Kota Ambon. Aktivitas Galian C oleh CV Hative Primajaya disorot karena diduga berlangsung tanpa izin resmi, baik Izin Usaha Pertambangan (IUP), Izin Pertambangan Rakyat (IPR), maupun dokumen lingkungan seperti AMDAL, UKL, dan UPL.
Menanggapi tudingan tersebut, Wali Kota Ambon, Bodewin Wattimena, menantang agar laporan terkait disampaikan langsung kepada aparat penegak hukum (APH) agar tidak menjadi fitnah yang berkembang di tengah publik.
“Kalau ada tuduhan seperti itu, sebaiknya dilaporkan ke pihak berwajib, sehingga tidak menimbulkan fitnah,” tegas Bodewin melalui pesan WhatsApp, Selasa (05/08/2025).
Namun, saat ditanyai lebih lanjut mengenai dugaan keterlibatan CV Hative Primajaya dan apakah dirinya mengetahui aktivitas tambang ilegal tersebut, Bodewin tidak lagi memberikan tanggapan.
Sebelumnya, aktivitas perusahaan tersebut menjadi sorotan karena dinilai berlangsung secara terang-terangan tanpa hambatan, meski tidak memiliki izin resmi. Ironisnya, CV Hative Primajaya disebut rutin menyetor dana ke kas Pemerintah Kota Ambon. Kondisi ini memicu dugaan adanya praktik suap terselubung yang dibungkus dalam bentuk setoran legal, bukan pajak resmi.
Koordinator Lapangan Aliansi Lingkar Demokrasi Maluku, Moh. Umar L, menyebut bahwa situasi ini mencerminkan pembiaran sistematis oleh pemerintah kota. Ia mendesak agar aparat penegak hukum mengusut tuntas dugaan keterlibatan pejabat dalam praktik tambang ilegal tersebut.
“Kami menduga Wali Kota Ambon mengetahui dan membiarkan aktivitas ini. CV Hative Primajaya menyetor dana ke Pemkot tanpa punya izin. Ini bukan kelalaian, tapi bentuk keterlibatan pasif dalam kejahatan lingkungan,” tegas Umar.
Ia juga menyoroti lemahnya pengawasan dari Satpol PP dan aparat lainnya, karena alat berat perusahaan diduga beroperasi secara terbuka di siang hari tanpa hambatan.
Aliansi mendesak agar Kapolda Maluku segera mengambil alih penanganan kasus ini dan memeriksa pimpinan CV Hative Primajaya serta menelusuri aliran dana yang masuk ke lingkungan Pemerintah Kota Ambon.
“Jika terbukti ada gratifikasi atau suap berkedok pajak, maka harus dijerat dengan pasal pidana korupsi. Penegakan hukum terhadap kejahatan lingkungan tidak boleh setengah hati,” tegasnya.
Tak hanya itu, Umar juga menuntut DPRD Kota Ambon, khususnya Komisi I, untuk segera menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan menghadirkan pihak-pihak terkait: CV Hative Primajaya, Dinas Lingkungan Hidup, Dinas Pendapatan, Satpol PP, dan Dinas ESDM Provinsi Maluku.
“Jika DPRD tidak segera bergerak, jangan salahkan rakyat jika turun ke jalan,” tandasnya.
Aktivitas penambangan ilegal ini berpotensi melanggar Pasal 158 UU No. 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, yang mengancam pelaku tambang ilegal dengan pidana penjara maksimal lima tahun dan denda hingga Rp100 miliar.
Apabila terbukti terjadi gratifikasi atau aliran dana tidak sah kepada pejabat, maka kasus ini juga dapat dijerat Pasal 12B UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi.
Aliansi Lingkar Demokrasi Maluku menegaskan bahwa persoalan ini bukan semata pelanggaran administratif, tetapi menyangkut integritas pejabat publik, keberanian penegak hukum, dan masa depan lingkungan hidup di Kota Ambon.
“Jika hukum tidak ditegakkan, maka negara sedang membiarkan kerusakan dan korupsi tumbuh subur atas nama pembangunan,” tutup Umar. (OR-AB)
![]() |
Klik ☝ untuk mengikuti akun Google News Kami agar anda tidak ketinggalan berita menarik lainnya |