“One Piece diributkan? Kurang kerjaan. Itu bagian dari ekspresi sosial yang biasa saja dalam demokrasi. Jika pun bermakna protes dan kritik, itu juga saluran yang damai,” tulis Anas.
Ia menilai bentuk kritik seperti ini, meski simbolik dan tidak biasa, justru merupakan cermin dari kemajuan budaya masyarakat yang makin terbuka dan kreatif dalam menyampaikan aspirasi.
“Bahkan kritik yang bersifat simbolik, halus dan cenderung ‘tinggi’. Hal demikian justru bentuk dari kemajuan budaya ekspresi sosial, karena teknologi dan terpaan kemajuan budaya global. Bukan budaya kekerasan dan pembangkangan yang katrok,” tambahnya.
Menurut Anas, ekspresi seperti itu tidak bisa dimaknai sebagai bentuk anti-nasionalisme atau pelecehan terhadap simbol negara. Sebaliknya, ia melihatnya sebagai wujud cinta tanah air dan harapan terhadap transformasi Indonesia ke arah yang lebih baik.
“Justru itu bentuk lain dari cinta negeri dan harapan akan transformasi Indonesia untuk makin baik dan bermartabat,” tegasnya.
Menutup unggahannya, Anas menyelipkan humor terkait potensi simbol One Piece menjadi lambang partai. “Siapa mau pakai untuk ganti lambang partai? Siap-siaplah pengusaha cetak bendera hehehe,” tulisnya.
Anas juga mengajak semua pihak untuk tidak reaktif terhadap bentuk-bentuk ekspresi publik yang kreatif. Ia menyarankan agar substansi pesan yang disampaikan publik lebih diperhatikan dan dijadikan bahan evaluasi.
“Lebih baik menyerap intisari pesannya sebagai bagian dari bahan perbaikan. Tidak ada faedahnya reaktif dan kaget dengan cara publik berekspresi,” pungkasnya. (OR-A)
 |
| Klik ☝ untuk mengikuti akun Google News Kami agar anda tidak ketinggalan berita menarik lainnya |