Ambon - Pelarangan pengibaran bendera bajak laut dari serial animasi One Piece oleh aparat negara menjadi sorotan kritis dari pelaku seni dan budaya Maluku, Vigel Faubun. Ia menilai bahwa larangan tersebut bukan hanya berlebihan, tetapi juga menunjukkan kegagapan negara dalam membaca simbol dan ekspresi perlawanan anak muda masa kini.
“Bendera One Piece bukan lambang pemberontakan terhadap negara. Ia adalah simbol perlawanan terhadap ketidakadilan, keserakahan kekuasaan, dan penjajahan gaya baru atas tanah adat dan ruang hidup masyarakat,” tegas Vigel.
Sebagai seniman yang kerap mengangkat tema adat, budaya, dan perlawanan melalui puisi, teater, dan pertunjukan jalanan, Vigel menyebut tindakan negara melarang pengibaran bendera bajak laut justru memperlihatkan paranoia terhadap simbol yang menyuarakan kebenaran.
“Negara hari ini lebih takut pada bendera kartun daripada pada bendera korporasi yang merampas hutan. Ini ironi. Kami para seniman tidak diam. Kami akan terus bicara, karena tanah ini bukan milik kekuasaan, tapi milik sejarah dan adat,” ungkapnya.
Menurut Vigel, bendera bajak laut Luffy adalah metafora perjuangan generasi yang tidak tunduk pada aturan yang menindas. Mereka adalah “nakama” — kawan seperjuangan — yang memilih berlayar di laut luas ketidakadilan dengan kompas hati nurani.
Dalam konteks budaya Maluku, ekspresi semacam ini bukan bentuk pelanggaran, melainkan bentuk menjaga semangat perlawanan yang sejak lama diwariskan lewat syair, tabuhan tifa, dan tarian Cakalele. “Kami punya sejarah panjang tentang keberanian. Hari ini, simbol itu mungkin hadir lewat bendera animasi. Tapi esensinya sama: melawan ketidakadilan,” tutup Vigel. (OR-EH)
![]() |
Klik ☝ untuk mengikuti akun Google News Kami agar anda tidak ketinggalan berita menarik lainnya |