Close
Close

Ibadah Jemaat GKSI Anugerah di Padang Dibubarkan Secara Paksa, Dua Anak Terluka

iklan ditengah halaman

Padang – Insiden intoleransi kembali mencuat di Kota Padang, Provinsi Sumatera Barat. Ibadah mingguan jemaat Gereja Kristen Setia Indonesia (GKSI) Anugerah Padang yang berlangsung di sebuah rumah doa di Kelurahan Padang Sarai, Kecamatan Koto Tangah, dibubarkan secara paksa oleh sekelompok warga pada Minggu sore (27/07/2025), sekitar pukul 16.00 WIB.


Kegiatan ibadah yang dipimpin oleh Pendeta F. Dachi, M.Th., itu awalnya berlangsung damai sebelum sekelompok warga datang dan membubarkan acara secara paksa. Sejumlah properti rusak dalam kejadian ini: kursi dan meja hancur, pagar roboh, jendela pecah, dan dua anak mengalami luka ringan akibat kekacauan yang terjadi.


Pihak kepolisian langsung bertindak. Kapolsek Koto Tangah, Kompol Afrino, menyatakan bahwa petugas telah memasang garis polisi di lokasi dan tengah melakukan penyelidikan, termasuk mengidentifikasi para pelaku dan korban. Pemerintah Kota Padang juga langsung turun tangan. Wali Kota Padang menginisiasi langkah mediasi demi meredam ketegangan yang muncul pasca kejadian.


Ibadah jemaat GKSI Anugerah diketahui telah berlangsung rutin selama tiga tahun terakhir. Jemaat biasanya beribadah berpindah dari rumah ke rumah, tanpa kendala izin atau protes dari warga sekitar. Kejadian pada Minggu sore itu disebut sebagai insiden pertama yang melibatkan pembubaran paksa, dan diduga dilakukan tanpa dasar hukum yang jelas.


Tindakan pembubaran dan kekerasan terhadap kegiatan keagamaan ini bertentangan dengan jaminan hukum yang diatur dalam konstitusi dan undang-undang. Kebebasan beragama dan beribadah dijamin dalam Pasal 29 Ayat (2) UUD 1945, serta ditegaskan kembali dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Selain itu, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) memberikan dasar hukum untuk menindak segala bentuk penganiayaan, perusakan, hingga penghasutan yang mengganggu kebebasan beribadah.


Ketua Solidaritas Kebangsaan RI, Dody Lukas, mengecam keras insiden tersebut. Ia menilai tindakan main hakim sendiri yang disertai kekerasan bukan hanya melanggar hukum, tetapi juga mencederai semangat toleransi, kebangsaan, dan nilai-nilai Pancasila. Ia mendesak aparat penegak hukum agar segera memproses para pelaku dan memberikan perlindungan kepada para korban, termasuk anak-anak yang terluka.


Pendeta F. Dachi mengimbau agar perbedaan keyakinan tidak dijadikan pemicu konflik antarwarga. Ia berharap pemerintah dan aparat dapat menjamin hak setiap warga negara untuk beribadah sesuai keyakinannya, sebagaimana dijamin oleh hukum yang berlaku.


Sejumlah pihak juga menyampaikan harapan agar kejadian ini ditangani secara serius oleh pihak berwenang. Jemaat GKSI Anugerah dan kelompok masyarakat sipil meminta dilakukan penyelidikan menyeluruh terhadap para pelaku, dibukanya ruang mediasi antara warga dan jemaat, serta diberikannya jaminan perlindungan hukum bagi jemaat yang menggunakan rumah doa sebagai tempat ibadah. Tak kalah penting, mereka juga mendorong adanya sosialisasi nilai-nilai toleransi antarumat beragama di tingkat lokal, sebagai bagian dari upaya membangun kembali kepercayaan sosial.


Insiden ini menjadi pengingat bahwa kebebasan beribadah bukan sekadar hak di atas kertas. Ia harus dijaga bersama, dilindungi, dan ditegakkan oleh seluruh elemen bangsa. Dalam masyarakat majemuk seperti Indonesia, tidak boleh ada tempat bagi kekerasan dan intoleransi. Semoga keadilan ditegakkan melalui jalur hukum, korban mendapat perlindungan yang layak, dan semangat Bhinneka Tunggal Ika semakin diperkuat oleh semua pihak. (OR-OS)

Baca Juga
Klik ☝ untuk mengikuti akun Google News Kami
agar anda tidak ketinggalan berita menarik lainnya

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama