Sorong – Gerakan Solidaritas Rakyat Papua Pro Demokrasi Sorong Raya mengeluarkan pernyataan sikap resmi pada Senin (3/11/2025) yang mendesak pembebasan empat tahanan politik (Tapol) asal Papua yang hingga kini masih menjalani proses persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Makassar, Sulawesi Selatan.
Keempat aktivis tersebut adalah Abraham G. Gamam, Nikson Mai, Maksi Sangkek, dan Piter Robaha, yang sebelumnya ditangkap pada April 2025 oleh Kepolisian Resor Kota Sorong karena dituduh melakukan tindakan makar. Mereka merupakan bagian dari Organisasi Negara Federal Republik Papua Barat (NFRPB).
Menurut rilis resmi yang ditandatangani Koordinator Umum Solidaritas Rakyat Papua, Simon Nauw, keempat aktivis itu tidak pernah melakukan tindakan makar sebagaimana dituduhkan Jaksa Penuntut Umum (JPU). Aktivitas mereka disebut murni sebagai upaya damai untuk mengajukan surat perundingan dialog dengan Pemerintah Republik Indonesia guna menyelesaikan persoalan Papua secara bermartabat.
Ahli Hukum UGM: Dialog Damai Bukan Makar
Dalam sidang pada 16 Oktober 2025, saksi ahli dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Dr. Muhamad Fataliah Akbar, S.H., LL.M., menegaskan bahwa makar seharusnya merupakan tindakan melawan hukum. Namun, menurutnya, mengundang pemerintah untuk berdialog secara damai tidak dapat dikategorikan sebagai tindakan makar.
“Dialog adalah cara paling damai dalam negara demokrasi. Mengajak dialog dengan pemerintah, apalagi tanpa kekerasan, tidak bisa disebut makar,” terang ahli tersebut dalam kesaksiannya.
Ia bahkan mencontohkan situasi Reformasi 1998, di mana banyak kelompok masyarakat berbicara mengenai gagasan negara federasi, namun tidak dikategorikan makar selama tidak disertai tindakan melawan hukum.
Tidak Ada Bukti Kuat dalam Penangkapan
Solidaritas Rakyat Papua menilai proses hukum terhadap keempat aktivis itu cacat sejak awal. Saat penggeledahan di rumah Abraham G. Gamam, polisi disebut hanya menemukan satu helai baju bermotif Bintang Kejora dan dokumen ajakan perundingan damai tanpa ada bukti kuat yang mendukung tuduhan makar.
Hal tersebut bahkan sempat menjadi alasan Kejaksaan Negeri Kota Sorong menolak berkas perkara yang diajukan oleh Polres Sorong karena dinilai tidak memiliki bukti yang cukup.
Selain itu, kelompok solidaritas menyoroti langkah aparat yang memindahkan proses persidangan dari Kota Sorong ke Kota Makassar. Menurut mereka, alasan pemindahan sidang karena adanya “bencana alam dan gangguan keamanan” di Sorong adalah tidak benar dan menyesatkan.
“Tidak pernah ada bencana atau gangguan keamanan di Sorong. Alasan itu hanya cara untuk cuci tangan karena mereka menahan orang yang tidak bersalah,” tegas Simon Nauw dalam pernyataannya.
Desakan kepada Hakim dan Pemerintah
Dalam rilis tersebut, Solidaritas Rakyat Papua Pro Demokrasi Sorong Raya mengajukan lima tuntutan utama, yaitu:
-
Mendesak Majelis Hakim PN Makassar menolak seluruh tuntutan JPU dan menyatakan empat aktivis Papua tidak bersalah.
-
Meminta hakim memvonis bebas keempat aktivis yang dinilai berjuang dengan cara damai untuk penyelesaian konflik Papua.
-
Menuntut pemulangan empat Tapol Papua ke Kota Sorong serta penghentian segala bentuk intimidasi terhadap keluarga mereka.
-
Menuntut penegakan hukum terhadap pelaku pelanggaran HAM di Papua dan pembebasan seluruh aktivis yang ditahan di berbagai daerah Indonesia.
-
Menyerukan hak menentukan nasib sendiri bagi bangsa Papua sebagai solusi demokratis jangka panjang.
Penegasan untuk Keadilan dan Demokrasi
Pernyataan yang dibacakan di Sorong ini merupakan bentuk solidaritas terhadap para aktivis Papua yang disebut berjuang secara damai dan terbuka di jalur demokrasi. Mereka berharap majelis hakim bersikap adil dan tidak terpengaruh tekanan politik dalam menjatuhkan putusan.
“Empat aktivis Papua itu bukan musuh negara. Mereka adalah warga negara yang memperjuangkan dialog dan keadilan dengan cara damai. Kami meminta mereka dibebaskan tanpa syarat,” tutup Simon. (FO)
![]() |
| Klik ☝ untuk mengikuti akun Google News Kami agar anda tidak ketinggalan berita menarik lainnya |

