![]() |
Sebuah Refleksi dari "Lima Menara" Nusa Bunga untuk Indonesia Oleh: Markus M. Mite ( pegiat sosial) |
Di saat kita gamang mencari figur, sejarah sebenarnya telah menyediakan jawabannya. Jauh dari hiruk-pikuk Jakarta, dari tanah Flores yang berbukit dan keras, pernah lahir deretan manusia-manusia "raksasa" yang mendedikasikan hidupnya bukan untuk golongan, melainkan untuk Republik.
Sebutlah nama mereka dengan takzim: Drs. Frans Seda, V.B. Da Costa, SH, Drs. Ben Mang Reng Say, P.S. Da Cunha, dan Laurensius Say.
Mereka bukan sekadar tokoh lokal. Mereka adalah prototipe pejabat publik yang nyaris punah di abad 21 ini. Mari kita bedah gagasan dan rekam jejak mereka sebagai cermin retak bagi wajah politik kita hari ini.
### 1. Frans Seda: Teknokrasi di Atas Transaksi
Jika ada satu penyakit kronis dalam birokrasi kita hari ini, itu adalah inkompetensi. Banyak pejabat duduk di kursi basah bukan karena kemampuan, melainkan karena bagi-bagi jatah politik.
Drs. Frans Seda adalah antitesis dari fenomena itu. Beliau adalah simbol Teknokrasi Berhati Nurani. Menjadi menteri di dua era rezim yang berbeda (Orde Lama dan Orde Baru) bukanlah tanda plin-plan, melainkan bukti bahwa keahlian (kompetensi) melampaui sekat politik. Saat ekonomi Indonesia hancur lebur di pertengahan 1960-an dengan inflasi ratusan persen, Frans Seda hadir bukan dengan retorika berapi-api, melainkan dengan kalkulasi ekonomi yang dingin dan presisi untuk menyelamatkan perut rakyat.
Pelajaran untuk Indonesia hari ini: Kita merindukan pemimpin yang bekerja dengan data dan sains, bukan dengan sensasi. Frans Seda mengajarkan bahwa patriotisme tertinggi adalah profesionalisme. Mencintai negara itu bukan dengan teriak "NKRI Harga Mati", tapi dengan mengurus keuangannya agar tidak bocor dan dikorupsi.
### 2. V.B. Da Costa, SH: Menghidupkan Kembali "Oposisi Nurani"
Demokrasi kita hari ini terasa hambar karena kritik seringkali dibungkam atau dibeli. V.B. Da Costa, SH, mengajarkan kita tentang Keberanian Konstitusional.
Sebagai "Singa Parlemen", Da Costa tidak pernah takut menjadi minoritas. Di Konstituante hingga DPR, ia menunjukkan bahwa loyalitas tertinggi seorang wakil rakyat bukan kepada ketua partai, bukan kepada presiden, melainkan kepada Konstitusi dan Hati Nurani.
Bagi generasi muda Indonesia yang sering takut berbeda pendapat, V.B. Da Costa adalah patron. Ia mengingatkan bahwa parlemen seharusnya menjadi arena adu gagasan yang keras, bukan sekadar "paduan suara" yang selalu setuju dengan eksekutif. Tanpa "Singa" seperti Da Costa, demokrasi kita hanya akan menjadi monolog kekuasaan.
### 3. Drs. Ben Mang Reng Say: Politik yang Beradab
Di tengah polarisasi politik yang tajam, di mana caci maki menjadi bahasa sehari-hari politisi kita, sosok Drs. Ben Mang Reng Say hadir seperti oase.
Sebagai pendiri partai, politisi, dan diplomat, Ben Mang Reng Say membawa nilai Etika Politik (Political Decency). Ia membuktikan bahwa seseorang bisa berpolitik tanpa kehilangan kesantunannya. Ia bisa berbeda haluan tanpa harus menjadi musuh pribadi.
Diplomasi beliau baik di dalam maupun luar negeri didasarkan pada prinsip saling menghormati. Indonesia membutuhkan "Ben Mang Reng Say - Ben Mang Reng Say" baru yang mampu mendinginkan suasana, yang melihat lawan politik sebagai mitra bertanding, bukan musuh yang harus dimusnahkan.
### 4. P.S. Da Cunha & Laurensius Say: Pembangunan yang Membumi
Jika tiga tokoh sebelumnya bermain di ranah kebijakan nasional, P.S. Da Cunha dan Laurensius Say memberikan kuliah gratis tentang Eksekusi Pembangunan Berbasis Akar Rumput.
Indonesia sering terjebak pada pembangunan monumen megah yang tidak menyentuh rakyat kecil. Laurensius Say, dengan terobosannya di bidang pertanian (Tekad Sembada), mengajarkan kita tentang kedaulatan pangan yang nyata. Ia tidak memimpin dari menara gading. Ia adalah tipe pemimpin yang sepatunya kotor oleh lumpur desa.
Pesan mereka untuk publik nasional sangat relevan: Jangan bicara soal Indonesia Emas 2045 jika urusan perut petani dan nelayan belum selesai. Kepemimpinan sejati diuji bukan dari seberapa banyak gedung bertingkat yang dibangun, tapi seberapa makmur rakyat di desa-desa tertinggal.
### Benang Merah: Kaderisasi Kesulitan (Schola Doloris)
Mengapa zaman itu bisa melahirkan tokoh-tokoh sekelas mereka? Jawabannya mungkin tidak populer bagi generasi instan hari ini: Mereka adalah produk dari "Sekolah Penderitaan".
Kelimanya tidak dibesarkan oleh algoritma media sosial yang memanjakan ego. Mereka dibesarkan oleh pendidikan disiplin yang ketat, keterbatasan fasilitas, dan tantangan zaman yang memaksa mereka berpikir kritis. Mereka membaca buku-buku berat, berdiskusi tentang ideologi, dan turun langsung merasakan denyut nadi rakyat.
Hari ini, kita terjebak dalam krisis kaderisasi. Partai politik gagal mencetak negarawan dan hanya berhasil mencetak "petugas partai". Kampus-kampus lebih sibuk mengejar peringkat dunia daripada mencetak intelektual organik yang peduli pada bangsa.
### Epilog: Matahari dari Timur
Warisan Drs. Frans Seda, V.B. Da Costa, Ben Mang Reng Say, P.S. Da Cunha, dan Laurensius Say bukanlah milik orang Flores semata. Nilai-nilai mereka - Integritas, Keberanian, Etika, dan Kerja Nyata adalah aset nasional.
Di tengah kegelapan moralitas publik saat ini, sudah saatnya kita menengok kembali ke Timur. Bukan untuk meratapi masa lalu, tapi untuk menyalakan kembali obor yang pernah mereka bawa.
Indonesia tidak butuh lebih banyak influencer. Indonesia butuh lebih banyak Negarawan.
Dan dari jejak langkah kelima tokoh ini, kita tahu: Negarawan tidak dilahirkan dari kenyamanan, tapi ditempa dari integritas yang tak bisa dibeli dan keberanian yang tak bisa dibungkam.
Sudah saatnya anak muda Indonesia berhenti mencari idola plastik, dan mulai belajar dari para raksasa yang sesungguhnya.
![]() |
| Klik ☝ untuk mengikuti akun Google News Kami agar anda tidak ketinggalan berita menarik lainnya |

