Close
Close
Orasi Rakyat News
Orasi Rakyat News

PELABUHAN AEWIGE : AMBISI PEMBANGUNAN DAN KONTESTASI RUANG HIDUP NELAYAN KECIL

Oleh: Joel Keepling
(Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional, Jakarta Selatan)

MAUMERE – Di Desa Mbengu, Kecamatan Paga, Kabupaten Sikka, sebuah rencana besar sedang tertahan oleh realitas alam. Pelabuhan Aewige, yang digadang-gadang dalam blueprint pemerintah sebagai infrastruktur maritim raksasa berkapasitas sandar 3.000 GT (Gross Tonnage), kini nasibnya terombang-ambing.


Sejak kajian Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) rampung pada 2022, dan target fisik yang meleset dari jadwal 2023, proyek ini menghadapi "tembok tebal" regulasi: Status Zona Konservasi.


Sebagai mahasiswa Ilmu Politik yang mengamati dinamika kebijakan publik, saya melihat stagnasi ini bukan sekadar persoalan teknis konstruksi. Ini adalah manifestasi nyata dari kontestasi ruang (contestation of space) antara negara yang lapar akan pertumbuhan ekonomi makro, melawan daya dukung ekologis dan ruang hidup (living space) nelayan kecil yang terancam terpinggirkan.


### Data dan Fakta: Keterlambatan yang Menyimpan Bom Waktu

Secara administratif, Pemerintah Provinsi NTT melalui Dinas Perhubungan dan Pemda Sikka telah menjalankan kewajibannya dalam tahap pra-konstruksi. Relokasi dan pembebasan lahan untuk akses jalan menuju titik pelabuhan telah dilakukan. Namun, fakta bahwa area perairan tersebut berada dalam zona konservasi menciptakan paradoks kebijakan.


Pelabuhan dengan kapasitas 3.000 GT bukanlah dermaga perintis kecil. Ini adalah pelabuhan pengumpul yang membutuhkan kedalaman draft yang signifikan. Implikasi teknisnya jelas: pengerukan dasar laut (dredging), reklamasi bibir pantai, dan pemancangan tiang beton masif.


Data ekologis menunjukkan bahwa wilayah pesisir Mbengu dan Paga adalah habitat krusial bagi terumbu karang. Dalam ekologi kelautan, terumbu karang bukan sekadar ornamen bawah laut, melainkan "kota" bagi rantai makanan laut. Kerusakan pada struktur ini akibat sedimentasi pengerukan akan memicu trophic cascade keruntuhan rantai makanan dari level moluska, invertebrata, hingga ikan predator.


### Analisis Ekonomi-Politik: Siapa Menanggung Biaya Eksternalitas?

Pemerintah sering berdalih menggunakan narasi "Multiplier Effect" ekonomi dan pariwisata. Namun, mari kita bedah siapa yang menanggung biaya eksternalitas (externalities cost) dari kerusakan lingkungan ini.


1. Disrupsi Pola Tangkap Nelayan

Nelayan di Kecamatan Paga mayoritas adalah nelayan skala kecil (small-scale fisheries). Karakteristik mereka adalah:

* Modal operasional rendah.

* Wilayah tangkap di zona pesisir (0-4 mil laut).

* Alat tangkap statis atau sederhana.


Ketika habitat karang hancur, ikan karang dan pelagis kecil akan bermigrasi menjauh ke laut lepas (zona oseanik) yang lebih dalam dan aman. Bagi nelayan Paga, ini adalah bencana ekonomi.


2. Inflasi Biaya Operasional (Operational Expenditure/OPEX)

Pemerintah mungkin melihat perpindahan ikan sebagai hal alami, namun bagi nelayan, ini berarti kenaikan biaya produksi.

BBM: Untuk mengejar ikan yang bermigrasi, nelayan harus melaut lebih jauh. Jika sebelumnya cukup 5-10 liter solar, mereka mungkin butuh dua hingga tiga kali lipatnya.


Investasi Alat (CAPEX): Perahu kecil (ketinting atau jukung) tidak didesain untuk laut lepas yang bergelombang tinggi. Mereka dipaksa melakukan peremajaan armada ke kapal berukuran lebih besar (>5 GT) dan alat tangkap modern (pukat/pancing mekanis).


Pertanyaannya: Apakah nelayan kecil Paga memiliki kapital untuk transformasi ini? Jika tidak, maka pembangunan pelabuhan ini secara sistematis akan "mematikan" profesi nelayan lokal dan menggantinya dengan pemodal besar yang mampu membeli kapal besar.


### Kontestasi Ruang: Negara vs Rakyat

Dalam perspektif ilmu politik, kasus Aewige adalah contoh klasik ketimpangan relasi kuasa. Negara memandang pesisir Mbengu sebagai "ruang kosong" yang bisa dikapitalisasi menjadi aset transportasi. Sebaliknya, bagi masyarakat lokal, laut adalah "ruang hidup" yang menopang subsistensi harian.


Argumen bahwa pelabuhan akan meningkatkan konektivitas dan mobilitas memang valid secara teoritis. Namun, jika konektivitas itu dibangun di atas "kuburan" terumbu karang dan kemiskinan nelayan, maka pembangunan tersebut cacat secara etika dan moral.


Tujuan penetapan wilayah konservasi adalah menjamin keberlanjutan sumber daya bagi generasi mendatang. Jika negara sendiri yang melanggar batas konservasi tersebut demi proyek infrastruktur, maka negara sedang mempertontonkan inkonsistensi hukum yang berbahaya.


### Kesimpulan dan Rekomendasi

Keterhambatan pembangunan Pelabuhan Aewige hari ini harus dilihat sebagai peluang (opportunity), bukan hambatan (obstacle). Ini adalah waktu bagi Pemprov NTT dan Kementerian Perhubungan untuk melakukan kaji ulang (review) total.


Jika dipaksakan tanpa mitigasi radikal, kita sedang menyongsong skenario terburuk:

1.  Kerusakan permanen ekosistem konservasi yang tidak bisa dipulihkan.

2.  Hilangnya mata pencaharian nelayan tradisional yang tidak mampu beradaptasi dengan biaya tinggi (high-cost economy).

3.  Konflik sosial akibat perebutan sumber daya yang semakin menipis.


Pembangunan tidak boleh hanya diukur dari berapa ton beton yang dituang, tetapi dari seberapa besar ia memuliakan manusia dan alam di sekitarnya. Jangan sampai Pelabuhan Aewige berdiri megah, sementara nelayan Paga hanya menjadi penonton yang terusir dari lautnya sendiri. 

Baca Juga
Klik ☝ untuk mengikuti akun Google News Kami
agar anda tidak ketinggalan berita menarik lainnya

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama